Analisis Puisi D Zawawi Imron ‘IBU’
Dengan pendekatan structural
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang kan tetap lancer mengalir
Bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku disini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
belas kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angina sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
1996
ANALISIS STRUKTURAL
Struktur Fisik dan keterkaitannya.
Di sini saya akan langsung saja menganalisis puisi “IBU” karya
penyair ternama, D Zawawi Imron ini secara keseluruhan terkait struktur fisik
dan batin serta keterkaitannya.
Sajak paruh dan Sajak dalam kita temui pada bait pertama Kalau
aku merantau lalu datang musim kemarau/ sumur-sumur kering,
daunan pun gugur bersama reranting. Pada baris itu juga dapat
ditemui asonansi berupa bunyi vocal “a” ,“u” dan “i”. dengan demikian juga
berarti dapat kita rasakan hadirnya efoni, bunyi yang indah pada baris tersebut
yang juga menekankan maknanya yaitu musim kemarau yang panas dan kering. Dipertegas
dengan kalimat “Sumur-sumur kering” dan “daunan pun gugur bersama reranting”. Dalam
kalimat tersebut juga kita dapat menemukan unsur citraan yakni visual. Yang kemudian
di lanjutkan pada baris ketiga hanya mataair airmatamu ibu, yang kan
tetap lancer mengalir disini dapat kita lihat repetisi pada kata “mata” dan
“air”, dimana kita lihat dua kata tersebut mengalami pengulangan tetapi dengan
makna yang berbeda pada baris yang sama. Disana dijelaskan bahwasanya ketika
musim kemarau datang mata air semuanya kering kecuai mata air dari mata ibu.
Selanjutnya pada bait kedua, kalimat “bila aku merantau” ini kita
temukan adanya repetisi dimana pengulangan dengan kalimat yang hampir sama
persis dengan baris pertama pada bait pertama. Disini artinya Zawawi ingin
mengungkapkan penegasan pada makna dari kalimat itu, yakni kasih sayang dan
cinta seorang ibu, yang kemudian dijelaskan pada baris-baris berikutnya. Dimana
ketika merantau seorang anak teringat masa lalu atau masa kecilnya sehingga menimbulkan kerinduan pada sosok ibu.
Hal ini diungkapkan oleh Zawawi pada baris sedap kopyor susumu dan ronta
kenakalanku/di hakti ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan.
Pada baris ini juga kita temui adanya persajakan yakni sajak paruh dan
sajak dalam.
Kemudian pada baris selanjutnya di bait ini menjelaskan bahwa cinta
kasih seorang ibu takkan mampu dibayar oleh anak, yakni pada kalimat lantaran
hutangku padamu tak kuasa kubayar. Kita juga dapat menemukan adanya unsur
bunyi yakni kakofoni dengan hadirnya huruf konsonan “k”. Baik, jika kita
cermati kembali kalimat-kalimat pada bait kedua ini, kita juga akan menemukan
adanya sinekdok dan metafora. Seperti pada kalimat “Sedap kopyor susumu” dan
“hutangku”. Dimana kemudian kalimat “sedap kopyor susumu” ini adalah penyebutan
sebagian untuk keseluruhan. Artinya yang diberikan ibu untuk anaknya tidak
hanya sebatas ASI tetapi juga pengorbanan jiwa, raga bahkan nyawa. Kemudian kata “hutangku” disini
bukan makna hutang yang sebenarnya. Dapat kita artikan budi dari seorang ibu,
yang tidak akan pernah mampu kita bayar.
Ibu adalah gua pertapaanku/ dan ibulah yang meletakkan aku disini. Kembali
kita menemukan adanya metafora pada kata “gua pertapaanku” disini maksudnya
adalah ibu yang telah mengandung seorang anak selama 9 bulan. Kemudian
“meletakkan aku disini” artinya adalah melahirkan anak ke dunia. Berikutnya
kita temui kembali sajak dalam dan sajak paruh pada baris
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang.
Maksud dari kalimat ini, bahwa ketika anak dilahirkan kedunia, bahagia seorang
ibu sungguh luar biasa yang diibaratkan Zawawi dengan kembang yang menyemerbak
bau sayang. Kemudian dilanjutkan pada baris selanjutnya yakni ibu menunjuk
ke langit, kemudian ke bumi/ aku mengangguk meskipun kurang mengerti.
Disini kata “menunjuk” merupakan sebuah metafor, artinya menunjuk bukan
pada arti yang sebenarnya menunjuk, melainkan mengajarkan kita tentang semesta,
tentang kehidupan. Kemudian Zawawi menghadirkan sebuah sikap menghargai dan
menghormati ibu dengan kalimat selanjutnya yakni “aku mengangguk meskipun
kurang mengerti” bagi saya ini bermakna bahwa kita harus tetap menghargai,
merendah dan menghormati seorang ibu ketika kita sudah pintar sekalipun.
Artinya ibulah yang sudah melahirkan kita, kemudian merawat membesarkan, juga
memberikan pengetahuan dan pendidikan selayak mungkin bagi kita, anak-anaknya.
Meskipun juga melewati orang lain atau yang kita sebut guru. Yang kemudian
nantinya harapan mereka kita bisa berpengetahuan luas lebih dari pada mereka.
Dan pengetahuan inilah yang seharusnya membuat kita semakin merunduk. Dari
baris itu juga dapat kita temui adanya sajak akhir dan sajak paruh.
belas kasihmu ibarat samudra pada kalimat
ini terdapat simile. sempit lautan teduh lautan yang luas itu kalah bila
dibandingkan dengan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Kemudian dari
kasih sayang inilah seorang anak bisa belajar mengenai sebuah kehidupan yang
pelik, dan mengetahui sebuah kebenaran. Hal ini di sampaikan Zawawi melalui
sajaknya tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/ tempatku
berlayar, menebar pukat dan melempar sauh. Kamudian kata “lumut” disini
bagi saya adalah sebuah metafor, dimana maknanya adalah diri yang tidak
berpengetahuan dan banyak kesalahan. Juga kita temukan adanya sajak dalam dan
sajak paruh. lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku pada
baris ini “lokan-lokan, mutiara, dan kembang laut “ adalah gambaran dari apa
yang diberikan ibu kepada anak, segalanya diberikan. kalau ikut ujian lalu ditanya
tentang pahlawan/ namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu. Kita
tahu, bahwa pahlawan adalah orang yang berjasa besar. Hal ini menggambaran
bahwasanya ibu adalah pahlawan pertama bagi seorang anak. Dalam bait ini kita
melihat adanya efoni “U” yang banyak sekali digunakan. Juga kita temui adanya
unsur persajakan yakni sajak akhir, sajak paruh dan sajak dalam. Seperti pada
baris lantaran aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu.
bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu
tunjukkan telah kukenal, Baik, kita
kembali menemukan sajak akhir pada bait ini. Kemudian juga kita temui lagi
repitisi “bila aku” namun dalam baris ini kata “merantau” di ganti dengan kata
“berlayar” yang mempunyai makna yang sama yakni jauh dari ibu.
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala ,
Zawawi mengibaratkan ibu dengan keindahan yang luar biasa menggunakan kalimat
“bidadari yang berselendang bianglala”. Sesekali datang padaku/ Menyuruhku
menulis langit biru/ dengan sajakku lagi kita temui sajak paruh dan sajak akhir.
Pada bait ini juga kita temui adanya efoni “U”.
kemudian juga kita temui enjambement pada kalimat “menyuruhku menulis
langit biru/dengan sajakku” yang seharusnya ini adalah satu kalimat, tetapi
dipisah oleh spasi. Bagi saya ini adalah bentuk penegasan dari Zawawi Imron
bahwa dirinya adalah seorang penyair.
Mengenai hal ini, sedikit berbagi pengalaman, Zawawi Imron adalah
guru saya pada bidang Syarhil Qur’an. Pada saat pembinaan di Surabaya beliau
selalu membacakan puisi ini sebelum memulai pembinaan. Kemudian beliau bercerita,
mengenai pembuatan puisi ini. Sewaktu beliau meminta izin kepada ibunya untuk
pergi merantau menuntut ilmu, dipelabuhan beliau diberi pesan oleh ibundanya,
agar menulis di langit. Agar semua orang di dunia ini bisa membaca
sajak-sajaknya.
menginspirasi
BalasHapus