ANALISIS ALIRAN DAN UNSUR INTRINSIK NOVEL ORANG-ORANG PROYEK KARYA AHMAD THOHARI
A. Aliran
Dalam dunia seni,
termasuk seni sastra, keyakinan atau sebuah paham akan terpancar dalam seluruh
hasil penciptaan, baik dalam aspek bentuk maupun isi. Bahkan tidak jarang
aliran tersebut juga mempengaruhi gaya dan sikap pengarang. (Hadimadja,
1972;14)
Aliran-aliran
tersebut juga ikut merasuk dan mempengaruhi perkembangan karya sastra di
Indonesia, termasuk dalam cerita fiksi. (Suminto, 2017;8). Salah satu aliran
tersebut adalah naturalisme. Aliran naturalisme ini juga dianut Ahmad Thohari
dalam penulisan novel Orang-Orang Proyek.
Pada prinsipnya,
batas antara naturalisme dengan realisme agak kabur. Sama halnya dengan
Realisme, naturalisme juga muncul sebagai reaksi terhadap romantisme. Pengarang
naturalisme juga melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat dan
dirasa oleh pancaindra. Hal yang membedakannya, dalam aliran naturalisme,
umumnya, para pengarang terutama memusatkan perhatian pada alam, pada
manifestasi kebendaan dari kehidupan manusia. Pengungkapan dan penggambaran
manusia sebagai makhluk dalam alam dengan hasrat dan kekurangan yang dimiliki.
(Suminto, 2017;24)
Berbeda dengan
realisme, dikatakan bahwa dalam aliran
naturalisme pengarang ikut terlibat dan “mengendalikan” objek yang akan
diungkapkan. Pengarang mempunyai kekuasaan atas pandangan dan visi terhadap
alam semesta yang dilukiskan. (Suminto, 2017;25)
Sebagai contoh
dari uraian tersebut, dikutip dibawah ini pemaparan naturalisme dalam cuplikan bagian
pertama novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari.
Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang
lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah jadi
watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung begitu cepat. Air yang
semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora
setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari hulu dengan bah
besar yang pekat berlumpur serta membawa segala macam sampah, dari sandal
karet, bekas botol plastic, batang pisang, sampai batang mahoni.
Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya
beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Di tebing
yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air.
Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup
hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring
roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas
seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.
Tapi pohon mbulu itu masih kukuh disana. Mungkin
karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski
banjir sempat menyentuh ujung-ujung rantingnya yang bergantung di atas air,
pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap
memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada
ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama
goyangan ranting ketika angin bertiup. Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak
peduli air dibawahnya masih belum sepenuhnya surut seperti sediakala.
Ketenangan dibawah pohon mbulu itu seakan diberi
bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama
menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi sungai Cibawor itu sebagai
tempat yang paling di sukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan
keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun
di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang
jernih, naungan pohon mbulu itu juga member kesempatan orang melihat
bayangan langit serta kelebat burung laying-layang. Pada saat demikian,
pemancing tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan
alam di sekitarnya.
Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera
memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan
menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas
lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu
mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling bambu.
Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.
“Kukira air sudah kembali jernih, ternyata masih keruh,”
gumam lelaki itu, mungkin kepada burung-burung emprit di atas kepalanya.
“Kalau air masih keruh seperti ini, percuma saja aku memasang pancing.”
Lalu dengan jarinya yang Nampak kering lelaki itu tampak
mengatur cincin serulingnya. Dengan menekan cincin yang terbuat dari serpih
bambu itu lebih dalam, dia ingin membuat suara serulingnya selirih mungkin. Dia
memang selalu ingin meniup seruling hanya untuk didengar sendiri. Dia tidak
bermaksud mengalunkannya untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri
pun tak perlu mendengar karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.
Ketika ujung-ujung ranting yang menggantung itu mulai
bergoyang oleh sentuhan angin, ketika burung-burung kecil itu mulai
mencicit-cicit di seputar sarang mereka, dari bawah kerindangan pohon mbulu itu
samar-samar mulai terdengar alunan seruling. Demikian samar sehingga ketika
angin bertiup kencang, suara itu luluh oleh desah angin yang menerobos
dedaunan.
Pemancing tua itu dengan serulingnya sedang asyik
berdendang sendiri. Alunan itu membawanya mengembara ke ruang jiwa dengan rasa
yang amat mendalam. Dia merasa melayang, bersentuhan dengan puncak kesadaran,
dan dari sana dia merasakan hadirnya kearifan alam semesta. Kearifan itu, yang dia
sendiri sulit menjelaskannya, sering terasa hadir dan membuatnya begitu tanang,
genap, mapan. Ayem. Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak. Atau ayemnya
anak bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan. Ya, orang yang
sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah berhasil mengenal
dan berdamai dengan diri sendiri.
Dengan duduk bersandar pada batu besar, dengan mata
setengah tertutup pemancing tua itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan
menyapa puncak-puncak rasa. Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan
batin yang sangat mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya
beberapa langkah di sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu
kulit dan baju katun lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di
pinggangnya, tidak segera menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam
getar irama seruling yang ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir
jatuh oleh embusan angin sehingga dia harus membuat gerakan nyata, pemancing
itu takkan melihatnya. Dan suara seruling pun mendadak berhenti. Sejenak
lengang.
Ahmad Thohari, Orang-Orang
Proyek hlm. 5-8
Dalam cuplikan
tersebut pengarang menggambarkan alam begitu detail. Penggambaran tersebut kemudian diisi dengan
kemunculan seorang tokoh yang mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk alam
yang memiliki hasrat. Seperti dalam kalimat “Dia tidak bermaksud mengalunkannya
untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri pun tak perlu mendengar
karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.” Sedangkan dalam
kalimat “Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak. Atau ayemnya anak
bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan. Ya, orang yang
sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah berhasil mengenal
dan berdamai dengan diri sendiri.” Menggambarkan bahwa pusat pribadi pengarang
ikut berbicara.
Naturalis amat
mementingkan alam semesta. Hal itu sejalan dengan pengertian awalnya bahwa
natural berarti alam, kodrat, tabiat. Tokoh-tokoh naturalisme mengungkapkan
aspek-aspek alam semesta yang bersifat fatalis dan mekanis. Ia juga
mementingkan gerak dan aktivitas manusia yang mewujudkan kebendaan serta
kehidupan moral yang rendah. Kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dalam
naturalisme disampaikan dengan teliti karena telah melalui eksperimentasi
seperti dalam ilmu pengetahuan. (Suminto, 2017;25)
Sebagai contoh
dari uraian tersebut, sedikit cuplikan dari bagian kedua novel “Orang-Orang
Proyek” bisa membuktikan bahwa novel ini beraliran naturalisme.
“Begitulah. Dan aku datang untuk bertanya apakah tadi
malam mereka mengunjungimu?”
“Tidak,” jawab Kabul sambil menggeleng. Pundaknya jatuh.
Menghela napas panjang. Kabul khawatir omongan Basar akan jadi kenyataan, dan
proyek akan menanggung beban cukup berat untuk HUT GLM.
“Kamu mau apa bila mereka, orang-orang GLM itu, datang
kepadamu?”
Kabul tampak gelisah
“Mereka pasti akan datang kan?” Ulang Basar.
“Ya, atau bahkan Pak Dalkijo sendiri yang akan menyuruhku
melayani segala kebutuhan dan permintaan mereka.”
“Kalau benar begitu, kamu bagaimana?”
Kabul kelihatan makin gelisah.
“Kamu sendiri bagaimana?” Kabul balik bertanya kepada
Basar. Dan kegelisahan itu menjalar dari Kabul ke Basar. Kades itu mengangkat
alis. Lama terdiam sebelum akhirnya Basar membuka mulut.
“Memang salahku, bekas aktivis jadi Kades di zaman Orde
Baru yang gila ini,” Keluh Basar. “Ternyata tugas utama Kades zaman Orde Baru
bukan melayani masyarakat, melainkan GLM. Ini konyol, malah menjijikkan. Kalau
sejak dulu aku sadar akan hal ini, aku tak mau jadi Kades. Sialnya, semua ini
sudah terlanjur. Apakah aku harus berhenti?”
“itulah pertanyaannya.”
“Bila aku berhenti, apakah desaku akan menjadi lebih
baik? Apa ini tidak berarti aku melepaskan tanggung jawab dan membiarkan warga
desaku mengalami salah pimpin dan salah urus seperti dulu?”
Basar berhenti bicara dan wajahnya sudah merah. Di atas
mereka rumpun bambu bergoyang dan daun-daunnya yang kuning luruh. Anger
mengalir membawa bau tanah kering dan debu proyek. Si raja udang datang lagi,
hinggap di cabang satu depa di atas air, manggut-manggut, terbang lagi setelah
tahu Basar dan Kabul masih di sana. Gumpalan-gumpalan lumut hanyut perlahan,
dan meruncing ketika memasuki air deras. Anak-anak ikan wader
berkerumunan sambil makan tinja yang mengapung dan hanyut di permukaan air.
“kamu yakin dirimu dibutuhkan warga?”
“Tepat. Pertanyaan itu sering mengusik diriku. Dan di
sana pula keputusan kugantung. Menurutmu bagaimana?”
“Aku jujur. Bukan hanya desa ini, melainkan semua desa,
membutuhkan lurah atau Kades seperti kamu. Kukira perubahan harus dimulai dari
desa. Sayang, aku tahu hal ini tidak mudah dalam system kekuasaan gila seperti
saat ini.”
“Terima kasih. Kalau kamu bilang aku dibutuhkan, aku akan
mencoba bertahan. Aku akan bersiasat untuk sedikit mengurangi dampak kerakusan
GLM, agar kerusakan desaku tak terlalu parah. Ya kalu benda rusak, tapi kalu
hati dan moral rakyat serta nilai-nilai yang hidup disini?”
“Baguslah. Tapi persiapkan mentalmu karena yang akan kamu
hadapi adalah system kekuasaan kemaruk-mumpung yang sudah dibangun
selama seperempat abad. Kamu tidak bakalan berhasil penuh.”
“Hal itu sangat kusadari. Maka aku bilang, paling-paling
aku hanya bisa mengurangi dampak kerakusan dan ke-kemaruk-an kuasa
mereka terhadap warga desa ini.”
“Dan pada dasarnya aku pun sama. Aku tidak ingin
mengambil tindakan tinggal glanggang colong playu. Aku ingin bertahan sampai
proyek ini selesai dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan mutunya kepada
rakyat….”
“Bukan kepada Pak Dalkijo atau Bupati?” Basar tertawa.
“Bukan,” ujar Kabul sengit. “Malah bukan juga kepada DPRD
yang Cuma legislatif-legislatifan itu. Tapi seperti kamu juga, rasanya aku juga
tak akan sepenuhnya berhasil. Entahlah.”
Ahmad Thohari, Orang-Orang
Proyek hlm. 106-108
Dalam kutipan
tersebut, penulis menggambarkan alam semesta yang bersifat fatalistik melalui
tokoh-tokohnya. Dimana Kabul dan Basar sebagai mantan aktivis kampus yang
sebenarnya mengetahui berbagai masalah dalam negara ini pada masa Orde Baru,
bahwa pembangunan dilakukan bukan atas kepentingan rakyat, melainkan
kepentingan partai yang berkuasa pada masa itu. Namun mereka tidak dapat
melakukan apa-apa untuk mengatasi hal itu. Bahkan tidak bisa menghindarkan
dirinya dari problematika yang seakan sudah menjadi hukum alam. Dalam kutipan
tersebut juga sedikit tergambarkan bahwa dalam novel ini mejelaskan bagaimana
menurunnya moral manusia dalam berbangsa dan bernegara.
B. Tokoh
Ditinjau dari
segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua,
yakni tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan
(bawahan). Karena acapkali sebuah fiksi melibatkan beberapa tokoh, perlu bagi
kita untuk pertama kali menentukan tokoh sentralnya. (Suminto, 2017;106)
Biasanya tokoh
sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam cerita. Peristiwa
atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri
tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut.
jelasnya, tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan, paling
tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu paling terlibat dengan makna atau
tema. Kedua, tokoh itu paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga,
tokoh itu paling banyak memerlukan waktu penceritaan. (Suminto, 2017;107)
Di dalam novel “Orang-Orang Proyek ini, kita temui Kabul
sebagai tokoh sentral atau tokoh utamanya. Untuk dapat menjelaskan perihal
tokoh sentral tersebut, ada baiknya kita kembali membuktikan melalui tiga cara
yang diungkapkan di atas.
Pertama, tokoh itu
yang paling terlibat dengan makna atau tema. Melalui sedikit cuplikan di atas
kita bisa melihat tema yang diangkat oleh Ahmad Thohari dalam novel ini, yakni kenyataan
politik yang dibenturkan dengan nilai kemanusiaan. Ahmad Thohari disini
mengangkat idealisme dan kejujuran harus ditegakkan dalam situasi apapun. Novel
ini banyak mengkritisi praktik-praktik rezim Orde Baru yang hampir mencampuri
seluruh kehidupan masyarakat Indonesia di era 1980-1990-an. Dari sini kemudian
kita bisa melihat pada ceritanya bahwa tokoh Kabul lah yang dapat
mewakili seluruh makna moral yang diangkat oleh Ahmad Thohari ini. Dimana dalam
novel menceritakan idealisme tokoh Kabul yang memegang teguh prinsip kejujuran
dan profesionalisme dalam bekerja, sehingga memilih untuk mundur dari pekerjaan
yang di dalamnya penuh dengan praktik korupsi.
Kedua, tokoh itu
paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Dan ketiga, tokoh tersebut
membutuhkann banyak waktu penceritaan. Baiknya, kita lihat kembali novel
“Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari ini. Berdasarkan frekuensi kehadiran
dan keterlibatannya bisa dipastikan bahwa tokoh Kabul adalah tokoh sentralnya.
Dari setiap bagian, dari bagaian pertama hingga bagian kelima novel ini, Kabul
hampir mendominasi dan selalu hadir dan terlibat dalam cerita tiap bagian itu.
Disamping hal-hal yang sudah disebutkan dengan contoh sederhana di
atas, tokoh fiksi juga dapat dibedakan berdasarkan watak atau karakternya.
Yakni segi-segi yang mengacu pada perbauran antara minat, keinginan, emosi, dan
moral yang membentuk individu tokoh. Untuk itu dikenal adanya tokoh sederhana,
simple, atau flat characters dan tokoh kompleks, atau round
characters. (Suminto, 2017;109)
Tokoh yang sederhana atau datar ialah tokoh yang kurang mewakili
keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja.
Sedangkan, tokoh kompleks atau tokoh bulat ialah tokoh yang dapat dilihat semua
sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh bulat lebih memiliki
sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan sikap
dan obsesi yang tunggal. (Suminto, 2017; 109-110)
Dilihat dari uraian tersebut, kita bisa melihat tokoh Kabul
mengarah pada spektrum kompleksitas. Sehingga kemudian bisa dikatakan bahwa
tokoh utama dalam novel “Orang-Orang Proyek” digolongkan pada tokoh bulat
berdasarkan watak atau karakternya. Seprti dapat kita ketahui bahwa tokoh bulat
lebih memiliki sifat lifelikeness yang merupakan bentuk relevansi. Tokoh
yang bersifat alamiah (natural), dalam arti bahwa tokoh-tokoh itu memiliki
kehidupan atau berciri “hidup” : tokoh memiliki derjat kesepertihudupan (lifelikeness). (Suminto, 2017;102)
Dalam kehidupan kita yang sesungguhnya, tidak ada seorang pun
manusia yang karakternya dapat diringkaskan secara memadai dalam satu formula
tertentu seperti yang dapat dilakukan pada tokoh simple. Manusia-manusia yang
sesungguhnya pasti mampu buat kita terkejut. (Suminto, 2017;115)
Begitupun dapat kita temui pada karakter Kabul dalam karyanya Ahmad
Thohari yang dapat menggambarkan kesepertihudapan, artinya seperti mewakili apa
yang juga terjadi dalam cerita kehidupan yang sesungguhnya pada masa Orde Baru.
Dapat kita buktikan bahwa dalam novel
ini, bagaimana Ahmad Thohari menyampaikan aspek moral dan politiknya melalaui
tokoh Kabul pada kutipan dibawah ini:
Tanpa
terasa proyek sudah berjalan tiga bulan. Namun karena dimulai ketika hujan
masih sering turun, volume pekerjaan yang dicapai berada di bawah target.
Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan. Jengkel karena
sesungguhnya hambatan ini bisa dihindari bila pemerintah sebagai pemilih proyek
dan para politikus tidak terlalu banyak canpur tangan dalam tingkat
pelaksanaan.
Dan
campur tangan itu ternyata tidak terbatas pada penentuan awal pekerjaan yang
menyalahi rekomendasi para perancang, tapi masuk juga ke hal-hal lain. Proyek
ini, yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban
masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara
proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa.
Kendaraan-kendaraan proyek wajib ikut meramaikan perayaan HUT golongan itu.
Malah pernah terjadi pelaksana proyek diminta mengeraskan jalan yang menuju
rumah ketua partai golongan karena tokoh itu akan punya hajat. Bukan hanya
mengeraskan jalan, melainkan juga memasang tarub. Belum lagi dengan oknum sipil
atau militer, juga oknum-oknum anggota DPRD yang suka minta uang saku kepada
bendahara proyek kalau mau plesir ke luar daerah.
Dan
ternyata orang-orang kampung pun ikut-ikutan nakal. Bila mereka hanya minta
ikut memakai kayu-kayu bekas atau meminjam generator cadangan untuk keperluan
perhelatan, masih wajar. Tapi kenakalan mereka bisa lebih jauh. Mungkin karena
tahu banyak priyayi yang ngiwung barang, uang, atau fasilitas proyek,
mereka pun takmau ketinggalan. Selain menyuap kuli untuk mendapatkan semen,
paku, atau kawat rancang, mereka juga meminta besi-besi potongan, kata mereka,
untuk membuat linggis.
Mandor
yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan
menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk. Truk yang masuk sepuluh
kali bisa dicatat menjadi lima belas kali, dan untuk kecurangan itu dia
menerima suap dari para sopir.
Namun
menghadapi semua tingkat kebocoran itu, Insinyur Dalkijo- atasan Kabul, seperti
tak menanggung beban apapun. Suatu saat ketika bersama-sama berada di rumah
makan, Kabul mengeluh atas tingginya angka kebocoran yang berarti beban
tambahan cukup besar yang harus dipikul oleh anggaran proyek.
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 29-30
Dalam kutipan tersebut dapat
kita lihat banyaknya kemerosotan moral manusia pada zaman Orde Baru. Dimana
banyak oknum dan berbagai pihak bersaing agar tidak ketinggalan melakukan
kecurangan demi mendapatkan apa yang bukan haknya. Namun, dalam keadaan yang
sudah demikian mengibakan, Kabul masih kokoh mempertahankan idealismenya agar
tetap jujur dan professional.
Selain hal-hal di atas, perlu adanya pembahasan mengenai bagaimana
pengarang menggambarkan tokoh. Cara penggambaran tokoh ada tiga macam, yakni
metode diskursif, metode dramatis, metode kontekstual dan metode campuran. Nah,
bisa kita analisis bahwa novel “Orang-Orang Proyek” ini mengikuti cara
penggambaran tokoh melalui metode dramatis.
Disebut metode dramatis karena tokoh-tokohnya dinyatakan seperti
dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka
sendiri melalui kata-kata, tindakan-tindakan, atau perbuatan mereka sendiri.
Oleh karena itu dibandingkan dengan metode diskursif, metode dramatis lebih
bersifat lifelike dan mengundang partisipasi aktif pembaca dalam cerita.
Pemakaian metode dramatis untuk menggambarkan watak tokoh dapat dilakukan
dengan baik dalam berbagai teknik. (Suminto; hlm 121-122)
Pertama, teknik
pemberian nama tertentu.
Kedua, teknik
cakapan. Di dalam teknik cakapan tercakup ragam duolog dan dialog. Duolog
adalah cakapan antara dua tokoh saja, sedangkan dialog ialah kata-kata yang
diucapkan para tokoh dalam percakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh.
Berikut ini contohnya.
“Wah,
bagus sekali. Tak tahunya Pak Taryapandai main seruling?”
“Eh, Mas
Kabul? Aduh, saya jadi malu. Aduh, kok Anda sampai di tempat terpencil ini?”
“Jujur
saja karena, meskipun hanya lamat-lamat, saya mendengar suara serulingmu.”
“Ah,
saya malu. Saya kan hanya tukang mancing dan Anda insinyur, pelaksana
pembangunan jembatan. Kok Anda mau ngumpul dengan saya di tempat yang kurang
pantas ini?”
“Apa Pak
Tarya keberatan? Kalau begitu maafkan, saya telah mengganggu keasyikan Pak
Tarya”
“Tidak
apa-apa Mas. Wong saya di sini juga sedang merasa buuntu. Dari rumah sih mau
mancing. Tapi sampai pinggir kali ini ternyata air masih keruh. Yah, terlanjur
sudah pergi dari rumah,, maka daripada tak berbuat apa pun, main seruling
jadilah.”
“Tapi
tiupan seruling Pak Tarya sungguh enak didengar. Saya tidak mengira Pak Tarya
bisa main sebagus tadi.”
Ah, saya
jadi malu. Yah, sampean tidak tahu saya suka main seruling karena kita belum
lama berkenalan. Sampean pendatang dan saya orang sini asli. Kalau bukan karena
proyek pembuat jembatan di hilir itu, mungkin kita tak pernah bertemu.”
“Ya,
smpai beberapa hari yang lalu saya hanya tahu Pak Tarya tukang mancing. Tapi
kini saya sudah dapat informasi yang lebih lengkap bahwa sebetulnya Pak Tarya
adalah pensiunan pegawai Kantor Penerangan. Selain itu, Pak Tarya ketika muda
pernah lama mengembara ke Jakarta. Iya, kan?”
“Informasi
itu sedikit benarnya, banyak salahnya.”
“Tak ada
guna menutup-nutupi jati dirimu, Pak. Malah ada orang bilang, ketika berada di
Jakarta, Pak Tarya pernah bekerja di penerbitan. Jadi wartawan?”
“Ah,
Cuma sebentar”
Ahmad Thohari, Orang-Orang
Proyek hlm 9-10
Cakapan tersebut adalah cakapan antara tokoh Kabul dengan Pak
Tarya. Dari cakapan tersebut kita dapat mengenal bahwa Kabul adalah seorang
insinyur yang ditugaskan untuk menjadi pelaksana dalam proyek pembangunan
jembatan. Sedang Pak Taryo adalah seorang pensiunan pegawai Kantor Penerangan,
juga wartawan yang sekarang menjadi seorang tukang mancing dan memiliki
kemampuan bermain seruling.
Ketiga, teknik penggambaran pikiran tokoh atau apa yang melintas
dalam pikirannya. Mengenai teknik ini tidak dapat dipisahkan secara pilah benar
dengan teknik cakapan karena pikiran seorang tokoh seringkali tertuang dalam
cakapannya. (Suminto; hlm 124) kutipan berikut ini adalah contohnya.
“Eh, cerita yang lain, Mas. Saya tergoda untuk
bertanya, mengapa pagi ini Anda berada di sisni? Bukankah tempat ini hanya
pantas didatangi tukang mancing seperti saya?”
“Begini,
Pak. Tadi saya sedang melihat-lihat lokasi pembangunan jembatan. Tahu kan,
banjir kemarin dulu telah merusak persiapan pembuatan tiang jembatan? Saya
menyusuri tepian sungai kea rah hulu tanpa tujuan tertentu sampai saya mendegar
sayup-sayup serulingmu.”
“Lupakan
spal seruling. Saya lebih tertarik bicara tentang banjir kemarin dulu itu. Mas,
saya tahu, wong saya malah ikut nonton. Dahsyat ya, Mas? Saya melihatnya sejak
bah datang. Ketika ada pohon mahoni besar hanyut dan tersangkut di tiang
pancang yang baru ditanam, semua orang jadi tegang. Semula tiang itu tetap
tegak. Namun ketika datang lagi pohon-pohon yang hanyut dan ikut menekan, tiang
pancang itu perlahan-lahan miring.”
“itulah
yang membuat saya tertekan, pusing. Karena beton pancang sudah miring,
pekerjaan harus diulang dari awal lagi. Nah, bila kau merasa pusing, Pak Tarya,
kau bisa menghibur diri dengan main seruling. Tapi saya?”
“O,
begitu? Rupanya sampean pusing karena banjir telah merusak pekerjaan sampean?”
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm.10-11
Yang tertuang di atas adalah pikiran-pikiran tokoh terhadap banjir
yang merusak jalannya sebuah proyek pembangunan. Pikiran- pikiran Kabul dan Pak
Tarya terhadap banjir ini, menunjukkan simpati mereka terhadap sebuah
pembangunan yang akan mengalami kerugian serta kemunduran penyelesaian
pembangunan.
Keempat, teknik arus kesadaran (stream of consciousness).
Teknik ini merupakan cara penceritaan untuk menangkap dan melukiskan
warna-warni perkembangan karakter, yakni ketika persepsi bercampur dengan
kesadaran atau setengah kesadaran dengan kenangan dan perasaan. (Suminto; hlm
125) Perhatikan kutipan di bawah ini.
“Kalau
ngantuk tidurlah, Mas.” Ujar Pak Tarya. “Ah, saya ingin dapat satu lagi supaya
perolehan kita patut dibawa pulang.”
Dia
merebahkan diri. Kini langit seakan tidak lagi di atas, tetapi dihadapannya.
Kabul teringat pelajaran astronomi di SMA. Kata pak guru, memandang bintang
gemintang sama dengan memandang masa lalu. Ribuan bintang yang saat ini
kelihatan dari bumi sesunguhnya sudah tidak eksis lagi. Namun karena letaknya
yang berjarak puluhan juta tahun cahaya, penampakan sebuah bintang masih
berlangsung meskipun sesungguhnya bintang itu sudah lama padam. Dengan kata
lain, ribuan bintang yang tampak itu sebagian adalah bintang masa lalu dan kini
sudah tidak ada lagi.
“Mas
Kabul,” suara Pak Tarya memecah sunyi. “yang sedang sampean garap ini proyek
yang ke berapa?”
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 77
Disini kita melihat penggambaran bagian dari warna-warni
perkembangan karakter tokoh Kabul. Disaat Kabul melihat langit pikirannya
terbang pada masa lalunya yang teringat akan pelajaran SMA-nya mengenai
bintang. Dimana disana terdapat persepsi yang bercampur setengah kesadaran
dengan kenangan dan perasaan. Kita juga dapat mengetahui dari kutipan tersebut
bahwa tokoh Kabul adalah orang yang cerdas dan beringatan kuat sehingga
pelajaran SMA-nya masih teringat.
Kelima, teknik
pelukisan perasaan tokoh. Jika dalam teknik pelukisan pikiran menekankan pada
pikiran-pikiran tokoh, teknik pelukisan arus kesadaran menekankan pada
pelukisan pengalaman bawah sadar, dan teknik pelukisan perasaan menekankan pada
penggambaran perasaan tokoh yang tidak termasuk pengalaman bawah sadar. Hanya
saja, ketiganya dapat dimunculkan secara bersamaan untuk memberikan intensitas
penyajian tokoh. (Suminto; hlm.129)
Agar lebih jelas berikut dikutipkan contoh bagaimana Ahmad Thohari
melukiskan perasaan tokoh Kabul dalam novel “Orang-Orang Proyek”.
“kok
sampean begitu pesimis?”
“Begini.
Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan.
Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang akan
kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini
tidak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil
saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa
penyelewengan dan kecurangan apapun. Tapi ternyata saya tidak bisa. Proyek ini
dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas,
yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatanan, tapi biaya yang dikeluarkan dan
harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar
mutu.”
Kabul
menarik napas untuk menekan emosi yang sulit dibendung. Tapi Pak Tarya dalam
kebiasaannya ber-he-he-he, meskipun dia sudah yakin kegelisahan Kabul bukan
perkara main-main.
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 81
Kutipan diatas melukiskan bagaimana perasaan Kabul. Perasaan
gelisah dan bingung yang dirasakan akibat pekerjaannya yang tidak sesuai dengan
yang ia pikirkan. Perasaan gelisah itu menggambarkan sifat dan wataknya yang
sesungguhnya jujur.
Keenam, teknik
perbuatan tokoh. Tindakan, perilaku, dan perbuatan tokoh dapat membawa kita
kepada pemahaman tentang watak dan sifatnya, kepada karakter yang sesungguhnya.
“selarut
ini Pak Tarya mau mancing?” Tanya Kabul melihat temannya itu membawa peralatan
pancing tapi tampak berbeda dari peralatan yang biasa dia bawa. Pak Tarya
berjaket dan bertutup kepala rajut. Dia juga menenteng gulungan tikar plastic.
“biasa
Mas Kabul. Saya mau mancing ikan moa. Di sini orang bilang ikan pelus.”
“Ya,
saya tahu. Saya dengar ikan jenis itu biasa dipancing malam hari.”
“Sebetulnya
saya sudah lama disini. Sejak lepas Isya. Tapi karena ingin lebih dulu ikut
meramaikan pentas Tante Ana, soal mancing saya tunda dulu sementara.”
“Nanti
dulu, Pak Tarya. Besok hari Minggu, kan?”
“Ya.”
“Nanti
dulu. Anu.” Kabul tampak ragu. Dan menggaruk kepala.
“Bagaimana
bila saya ikut? Boleh?”
“Aduh,
Mas Kabul. Jangan. Bukan saya tidak mau diikuti., tapi sampeyan tak pantas
malam hari berada di pinggir kali. Jadi…”
“Saya
ingin mendapat pengalaman baru. Bagaimana sih rasanya mancing dimalam hari?”
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 71
Di atas dapat kita lihat bahwasanya tokoh Kabul memiliki budi
pekerti yang luhur. Dia tidak pandang bulu saat berteman. Meski dia adalah
seorang insinyur dan seorang pimpinan proyek tapi dia mau ikut memancing
bersama Pak Tarya. Disana juga kita bisa melihat seorang kabu, yang selalu haus
akan pengalaman.
ketujuh, teknik sikap
tokoh. Watak dan sikap tokoh dilukiskan dalam menanggapi hal-hal yang berada
disekitar dirinya. (Suminto; hlm.131) Pada novel “Orang-Orang Proyek”, hal itu
tampak pada kutipan berikut.
“Begini.
Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan.
Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang akan
kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini
tidak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil
saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa
penyelewengan dan kecurangan apapun. Tapi ternyata saya tidak bisa. Proyek ini
dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas,
yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatanan, tapi biaya yang dikeluarkan dan
harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar
mutu.”
Kabul
menarik napas untuk menekan emosi yang sulit dibendung. Tapi Pak Tarya dalam
kebiasaannya ber-he-he-he, meskipun dia sudah yakin kegelisahan Kabul bukan
perkara main-main.
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 81
Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bagaiman Kabul menyikapi apa
yang sebenarnya terjadi dalam proyek yang digarapnya dengan jujur dia ceritakan
pada Pak Tarya. Dia tidak ingin dirinya masuk kedalam golongan rayap-rayap yang
doyan akan bahan bangunan itu. Namun, keadaan membuatnya tidak bisa berbuat
banyak untuk dapat menghentikan kenistaan itu.
kedelapan, teknik
pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu. Untuk lebih
jelasnya berikut ini kutipan dalam novel “Orang-Orang Proyek” mengenai teknik
tersebut.
“Tadi
Wati kemari dancerita dengan wajah gembira. Dia bilang, kemarin diajak Pak
Insinyur makan pagi di rumah Pak Tarya. Lauknya pepes ikan pelus. Tapi katanya,
wati makan sedikit karena sudah senang dibonceng Pak Insinyur. Dan, Pak
Insinyur kalian berdua dilihat banyak orang.kukira orang akan percaya bila
dikatakan ada apa-apa antara Pak Insinyur dengan Wati, Nah.”
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 110
Kutipan di atas menggambarkan perkembangan karakter tokoh Wati.
Melalui cerita Mak Sumeh kita dapat mengetahui bahwa Wati sebenarnya suka
dengan Kabul.
kesembilan, teknik pelukisan fisik. Karena watak dan sifat dasar
manusia dapat dilihat dari wujud fisiknya, teknik pelukisan fisik juga sering
dipergunakan dalam fiksi untuk melukiskan watak dan sifat-sifat tokoh tertentu.
Dalam kaitan ini, pengarang dapat menyatakan secara langsung wujud fisik
tokoh-tokohnya, dan dapat pula melalui mata dan pandangan tokoh lainnya.
(Suminto; hlm. 134) Misalnya saja terlihat dalam kutipan berikut.
Dengan
duduk bersandar pada batu besar, dengan mata setengah tertutup pemancing tua
itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan menyapa puncak-puncak rasa.
Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan batin yang sangat
mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya beberapa langkah di
sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun
lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di pinggangnya, tidak segera
menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam getar irama seruling yang
ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir jatuh oleh embusan angin
sehingga dia harus membuat gerakan nyata, pemancing itu takkan melihatnya. Dan
suara seruling pun mendadak berhenti. Sejenak lengang.
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 8
Di sana penggambaran tokoh Kabul langsung disampaikan oleh
pengarangnya. Laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan panjang
serts perkakas radio terselip dipinggangnya. Dimana hal itu menggambarkan bahwa
Kabul adalah bagian dari pimpinan pelaksana proyek jembatan di atas sungai
Cibawor yang sudah digambarkan pada bagian sebelumnya.
sepuluh, teknik
pelukisan latar. Teknik ini juga sering dipakai untuk menggambarkan tokoh
karena latar sering pula dapat menunjukkan tokoh dank arena latar merupakan
lingkungan yang hakikatnya dapat dilihat sebagai perluasan diritokoh. (Suminto;
hlm. 135) Untuk hal itu, kita dapat kembali pada bagian awal “Orang-Orang
Proyek”.
Pagi ini Sungai Cibawor
kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini
banjir besar. Untung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi
berlangsung begitu cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari,
meninggi dan segera menggelora setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang
digelontor dari hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta membawa segala
macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastic, batang pisang, sampai
batang mahoni.
Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya
beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Di tebing
yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air.
Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup
hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring
roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas
seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.
Tapi pohon mbulu itu masih kukuh disana. Mungkin
karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski
banjir sempat menyentuh ujung-ujung rantingnya yang bergantung di atas air,
pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap
memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada
ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama
goyangan ranting ketika angin bertiup.
Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air dibawahnya masih
belum sepenuhnya surut seperti sediakala.
Ketenangan dibawah pohon mbulu itu seakan diberi
bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama
menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi sungai Cibawor itu sebagai
tempat yang paling di sukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan
keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun
di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang
jernih, naungan pohon mbulu itu juga member kesempatan orang melihat
bayangan langit serta kelebat burung laying-layang. Pada saat demikian, pemancing
tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di
sekitarnya.
Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera
memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan
menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas
lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu
mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling
bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.
Ahmad Thohari, Orang-Orang
Proyek hlm. 5-6
Dalam kutipan di atas tampak dengan jelas bagaimana pengarang
melukiskan suasana latar yang erat sekali kaitannya dengan suasana kejiwaan
tokoh Pak Tarya dalam novel “Orang-Orang Proyek”. Ketenangan dibawah pohon
mbulu itu digambarkan seperti kesukaan Pak Tarya yaitu berkawan dnegan
keheningan.
Dalam sebuah fiksi, penunjukkan karakter hanya merupakan salah satu
bagian dari kerja kepengarangan. Seorang pengarang tidak cukup hanya
menunjukkan karakter-karakter tokohnya saja, tetapi juga terutama dalam novel
perlu memperhatikan pengembangan tokoh-tokohnya. (Suminto; hlm. 139)
Seperti tampak pada novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari
ini, bukan penunjukkan watak dan sifat Kabul yang paling utama, melainkan
perkembangan karakter tokoh melalui tahapan-tahapan tertentu yang lebih penting
untuk dicermati.
Akan tetapi, semua tokoh harus selalu dilihat sebagai satu elemen
dalam sebuah keseluruhan artistik yang lebih besar. Dalam hubungan ini, penting
untuk dicatat ialah adanya motivasi dalam fiksi, yakni titik persinggungan
antara tokoh dan plot. Plot sebagian besar terdiri dari apa yang dilakukan oleh
para tokoh dalam melakukan sesuatu.
Motivasi tokoh dalam fiksi dibedakan menjadi dua, yakni yang
bersifat umum dan yang khusus. Dalam sifatny yang umum, motivasi mencakup
dorongan manusia yang paling mendasar seperti cinta, kelaparan, ketamakan, dan
hal-hal yang sejenis dengannya. Motivasi khusus melibatkakn penerapan yang
bersifat individual dari dorongan-dorongan mendasar tersebut. (Suminto;
hlm.140)
Jika Kabul dalam novel “Orang-Orang Proyek” bertindak professional
dalam pekerjaannya dan mempunyai idealisme untuk tetap mempertahankan kejujuran
dalam keadaan apapun, seperti apa yang dia pelajari saat di bangku kuliah.
Meski dalam kondisi Orde Baru yang sangat sulit untuk melepaskan diri dari
kenyataan dan keadaan yang anti kejujuran bahkan hingga berakibat pada mutu
pembangunan negara yang tidak mencapai standart. Namun, Kabul masih tetap
mempertahankan kejujurannya dan memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya serta
memilih untuk bekerja pada proyek swasta. Sesungguhnya hal itu merupakan
motivasi khusus yang merupakan penerapan motivasi umum, yakni kejujuran.
Untuk melihat bagaimana tokoh berkoherensi dengan plot. Misalnya,
kita seharusnya berusaha mengidentifikasi motivasi yang terdapat didalamnya,
baik yang umum maupun yang khusus. Motivasi suatu tindakan yang dilakukan tokoh
pada dasarnya merupakan bagian dari kemasukakalan (plausibility) suatu
cerita. (Suminto; hlm. 140)
Keputusan Kabul untuk keluar dari proyek pembangunan jembatan itu
karena praktik korupsi di dalamnya yang tidak sesuai dengan ideologi Kabul.
Keadaan lah yang memaksanya harus berhenti dan keluar dari proyek tersebut sebelum
pembangunan itu selesai berada dibawah pimpinannya. Ketakutannya akan mutu
rendah yang dihasilkan dari pembangunan karena adanya praktik kecurangan di
dalamnya. Nah, itu merupakan motivasi yang menyebabkan cerita itu menjadi masuk
akal.
C. PLOT
Kutipan ini merupakan bagian awal novel “Orang-Orang Proyek” karya
Ahmad Thohari.
Pagi ini Sungai Cibawor
kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini
banjir besar. Untung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung
begitu cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan
segera menggelora setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari
hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta membawa segala macam sampah,
dari sandal karet, bekas botol plastic, batang pisang, sampai batang mahoni.
Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya
beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Di tebing
yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air.
Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup
hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring
roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas
seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.
Tapi pohon mbulu itu masih kukuh disana. Mungkin
karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski
banjir sempat menyentuh ujung-ujung rantingnya yang bergantung di atas air,
pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap
memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada
ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama
goyangan ranting ketika angin bertiup.
Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air dibawahnya masih
belum sepenuhnya surut seperti sediakala.
Ketenangan dibawah pohon mbulu itu seakan diberi
bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan
kerindangan pohon mbulu di tepi sungai Cibawor itu sebagai tempat yang
paling di sukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan keheningan,
dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun di atas air
atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang jernih, naungan
pohon mbulu itu juga member kesempatan orang melihat bayangan langit
serta kelebat burung laying-layang. Pada saat demikian, pemancing tua itu
merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di sekitarnya.
Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera
memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan
menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas
lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu
mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling
bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.
“Kukira air sudah kembali jernih, ternyata masih keruh,”
gumam lelaki itu, mungkin kepada burung-burung emprit di atas kepalanya.
“Kalau air masih keruh seperti ini, percuma saja aku memasang pancing.”
Lalu dengan jarinya yang Nampak kering lelaki itu tampak
mengatur cincin serulingnya. Dengan menekan cincin yang terbuat dari serpih
bambu itu lebih dalam, dia ingin membuat suara serulingnya selirih mungkin. Dia
memang selalu ingin meniup seruling hanya untuk didengar sendiri. Dia tidak
bermaksud mengalunkannya untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri
pun tak perlu mendengar karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.
Ketika ujung-ujung ranting yang menggantung itu mulai
bergoyang oleh sentuhan angin, ketika burung-burung kecil itu mulai
mencicit-cicit di seputar sarang mereka, dari bawah kerindangan pohon mbulu itu
samar-samar mulai terdengar alunan seruling. Demikian samar sehingga ketika
angin bertiup kencang, suara itu luluh oleh desah angin yang menerobos
dedaunan.
Pemancing tua itu dengan serulingnya sedang asyik
berdendang sendiri. Alunan itu membawanya mengembara ke ruang jiwa dengan rasa
yang amat mendalam. Dia merasa melayang, bersentuhan dengan puncak kesadaran,
dan dari sana dia merasakan hadirnya kearifan alam semesta. Kearifan itu, yang
dia sendiri sulit menjelaskannya, sering terasa hadir dan membuatnya begitu
tanang, genap, mapan. Ayem. Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak.
Atau ayemnya anak bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan.
Ya, orang yang sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah
berhasil mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.
Dengan duduk bersandar pada batu besar, dengan mata
setengah tertutup pemancing tua itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan
menyapa puncak-puncak rasa. Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan
batin yang sangat mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya
beberapa langkah di sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu
kulit dan baju katun lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di
pinggangnya, tidak segera menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam
getar irama seruling yang ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir
jatuh oleh embusan angin sehingga dia harus membuat gerakan nyata, pemancing
itu takkan melihatnya. Dan suara seruling pun mendadak berhenti. Sejenak
lengang.
Kutipan “Orang-Orang Proyek” di atas menunjukkan bahwa Ahmad
Thohari memberikan informasi kepada pembaca. Kita diperkenalkan dengan latar
dan peristiwa yang mengawali cerita dari novel ini. Yakni sebuah banjir yang
terjadi di kali Cibawor. Kemudian kita diperkenalkan dengan seorang tokoh,
yaitu seorang lelaki tua. Kita pun diberi tahu bahwa lelaki tua itu hendak
memancing tetapi karena bekas banjir belum sepenuhnya hilang, sehingga air
masih keruh, lantas lelaki tua itu tidak segera mengeluarkan peralatan
pancingnya. Kita juga di beri tahu bahwa lelaki tua itu meniup seruling dengan
lirih se-lirih mungkin.
Akan tetapi, disini Ahmad Thohari tidak secara langsung
memperkenalkan siapa nama lelaki tua itu. Kita juga tidak diberi tahu posisinya
disana sebagai tokoh utama atau bukan. Sehingga pembaca diberi kesempatan untuk
menerka siapa sebenarnya yang diceritakan dalam bagian awal novel ini. Pada bagian awal itu pula kita tidak di beri
penjelasan kenapa penulis memilih kali Cibawor sebagai tempat banjir tersebut.
Apa kaitan ceritanya dengan kali Cibawor.
Kutipan bagian awal “Orang-Orang Proyek” di atas juga menunjukkan
adanya elemen instabilitas. Ahmad Thohari berhasil meyakinkan bahwa tokoh
disana adalah seorang lelaki tua, membawa seperangkat alat memancing. Juga kita
diyakinkan tokoh itu memainkan seruling sebagai wakil dari perasaannya. Namun,
pada bagian awal itu juga menunjukkan adanya ketidak-stabilan, yang memiliki
potensi “terbuka”, yakni yang menunjuk pada ketidak-stabilan tokoh dan juga
latar pada cerita bagian awal novel itu. Dimana kita tidak diperkenalkan secara
langsung siapa tokoh yang dijelaskan pada awal cerita itu. Lalu hubungan latar
yang menggunakan kali Cibawor dan kaitannya peristiwa banjir dengan pokok
ceritanya serta tokoh utama.
Namun pada bagian selanjutnya dari awal cerita itu, kita kemudian
mengetahui bahwa kausalitas dengan cerita selanjutnya sangat terlihat jelas.
Seperti pada kutipan berikut.
“Eh,
cerita yang lain, Mas. Saya tergoda untuk bertanya, mengapa pagi ini Anda
berada di sisni? Bukankah tempat ini hanya pantas didatangi tukang mancing
seperti saya?”
“Begini,
Pak. Tadi saya sedang melihat-lihat lokasi pembangunan jembatan. Tahu kan,
banjir kemarin dulu telah merusak persiapan pembuatan tiang jembatan? Saya menyusuri
tepian sungai kea rah hulu tanpa tujuan tertentu sampai saya mendegar
sayup-sayup serulingmu.”
“Lupakan
spal seruling. Saya lebih tertarik bicara tentang banjir kemarin dulu itu. Mas,
saya tahu, wong saya malah ikut nonton. Dahsyat ya, Mas? Saya melihatnya sejak
bah datang. Ketika ada pohon mahoni besar hanyut dan tersangkut di tiang
pancang yang baru ditanam, semua orang jadi tegang. Semula tiang itu tetap
tegak. Namun ketika datang lagi pohon-pohon yang hanyut dan ikut menekan, tiang
pancang itu perlahan-lahan miring.”
“itulah
yang membuat saya tertekan, pusing. Karena beton pancang sudah miring,
pekerjaan harus diulang dari awal lagi. Nah, bila kau merasa pusing, Pak Tarya,
kau bisa menghibur diri dengan main seruling. Tapi saya?”
“O,
begitu? Rupanya sampean pusing karena banjir telah merusak pekerjaan sampean?”
Ahmad
Thohari, Orang-Orang Proyek hlm.10-11
Pada kutipan di atas kita dapat dengan samar-samar melihat siapa
tokoh yang diceritkan di awal. Kita mulai mengenal siapa tokoh Kabul dan Pak Tarya. Kemudian
kita menjadi gamblang bagaimana hubungan banjir dengan latar yang dipilih. Kita
juga melihat bahwasanya Kabul adalah pimpinan proyek pembangunan jembatan di
desa itu. Kabul gelisah karena banjir yang datang itu membuat fondasi
pembangunan jembatan miring, sehingga harus dimulai dari awal lagi. Kemudian
kita mengenal kedua tokoh tersebut melalui dialog dari keduanya.
Dari sini kita dapat mengetahui adanya banjir yang diceritakan pada
awal cerita itu merupakan mata rantai pertama bagi peristiwa-peristiwa yang
berkausalitas dan juga temporal. Peristiwa pertama yang diceritkan pada bagian
awal novel itu merupakan konflik yang akan berbuntut pada peristiwa berikutnya.
Pada bagian awal tersebut juga Ahmad Thohari begitu detail menginformasikan tempat
dan waktunya.
Setelah kita melihat dan membaca keseluruhan dari novel
“Orang-Orang Proyek” kita dapat mengetahui bahwa Ahmad Thohari menulis novel
ini dengan menggunakan alur maju atau alur
progresif. Penulisan cerita ini juga
menggunakan alur yang longgar. dimana dalam cerita ini pada bagian kedua
tiba-tiba saja pembangunan jembatan sudah berlangsung tiga bulan.
Demikian Analisis novel "Orang-orang Proyek" karya Ahmad Thohari yang dapat kubagikan ke teman-teman. Semoga bermanfaa!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar