Jumat, 18 Oktober 2019

ANALISIS PUISI 'IBU' KARYA ZAWAWI IMRON


Analisis Puisi D Zawawi Imron ‘IBU’

Dengan pendekatan structural

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang kan tetap lancer mengalir

Bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku disini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

belas kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angina sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
1996

ANALISIS STRUKTURAL
Struktur Fisik dan keterkaitannya.

Di sini saya akan langsung saja menganalisis puisi “IBU” karya penyair ternama, D Zawawi Imron ini secara keseluruhan terkait struktur fisik dan batin serta keterkaitannya.

Sajak paruh dan Sajak dalam kita temui pada bait pertama Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/ sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting. Pada baris itu juga dapat ditemui asonansi berupa bunyi vocal “a” ,“u” dan “i”. dengan demikian juga berarti dapat kita rasakan hadirnya efoni, bunyi yang indah pada baris tersebut yang juga menekankan maknanya yaitu musim kemarau yang panas dan kering. Dipertegas dengan kalimat “Sumur-sumur kering” dan “daunan pun gugur bersama reranting”. Dalam kalimat tersebut juga kita dapat menemukan unsur citraan yakni visual. Yang kemudian di lanjutkan pada baris ketiga hanya mataair airmatamu ibu, yang kan tetap lancer mengalir disini dapat kita lihat repetisi pada kata “mata” dan “air”, dimana kita lihat dua kata tersebut mengalami pengulangan tetapi dengan makna yang berbeda pada baris yang sama. Disana dijelaskan bahwasanya ketika musim kemarau datang mata air semuanya kering kecuai mata air dari mata ibu.

Selanjutnya pada bait kedua, kalimat “bila aku merantau” ini kita temukan adanya repetisi dimana pengulangan dengan kalimat yang hampir sama persis dengan baris pertama pada bait pertama. Disini artinya Zawawi ingin mengungkapkan penegasan pada makna dari kalimat itu, yakni kasih sayang dan cinta seorang ibu, yang kemudian dijelaskan pada baris-baris berikutnya. Dimana ketika merantau seorang anak teringat masa lalu atau masa kecilnya  sehingga menimbulkan kerinduan pada sosok ibu. Hal ini diungkapkan oleh Zawawi pada baris sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/di hakti ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan. Pada baris ini juga kita temui adanya persajakan yakni sajak paruh dan sajak dalam.
Kemudian pada baris selanjutnya di bait ini menjelaskan bahwa cinta kasih seorang ibu takkan mampu dibayar oleh anak, yakni pada kalimat lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar. Kita juga dapat menemukan adanya unsur bunyi yakni kakofoni dengan hadirnya huruf konsonan “k”. Baik, jika kita cermati kembali kalimat-kalimat pada bait kedua ini, kita juga akan menemukan adanya sinekdok dan metafora. Seperti pada kalimat “Sedap kopyor susumu” dan “hutangku”. Dimana kemudian kalimat “sedap kopyor susumu” ini adalah penyebutan sebagian untuk keseluruhan. Artinya yang diberikan ibu untuk anaknya tidak hanya sebatas ASI tetapi juga pengorbanan jiwa, raga  bahkan nyawa. Kemudian kata “hutangku” disini bukan makna hutang yang sebenarnya. Dapat kita artikan budi dari seorang ibu, yang tidak akan pernah mampu kita bayar.

Ibu adalah gua pertapaanku/ dan ibulah yang meletakkan aku disini. Kembali kita menemukan adanya metafora pada kata “gua pertapaanku” disini maksudnya adalah ibu yang telah mengandung seorang anak selama 9 bulan. Kemudian “meletakkan aku disini” artinya adalah melahirkan anak ke dunia. Berikutnya kita temui kembali sajak dalam dan sajak paruh pada baris
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang. Maksud dari kalimat ini, bahwa ketika anak dilahirkan kedunia, bahagia seorang ibu sungguh luar biasa yang diibaratkan Zawawi dengan kembang yang menyemerbak bau sayang. Kemudian dilanjutkan pada baris selanjutnya yakni ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/ aku mengangguk meskipun kurang mengerti. Disini kata “menunjuk” merupakan sebuah metafor, artinya menunjuk bukan pada arti yang sebenarnya menunjuk, melainkan mengajarkan kita tentang semesta, tentang kehidupan. Kemudian Zawawi menghadirkan sebuah sikap menghargai dan menghormati ibu dengan kalimat selanjutnya yakni “aku mengangguk meskipun kurang mengerti” bagi saya ini bermakna bahwa kita harus tetap menghargai, merendah dan menghormati seorang ibu ketika kita sudah pintar sekalipun. Artinya ibulah yang sudah melahirkan kita, kemudian merawat membesarkan, juga memberikan pengetahuan dan pendidikan selayak mungkin bagi kita, anak-anaknya. Meskipun juga melewati orang lain atau yang kita sebut guru. Yang kemudian nantinya harapan mereka kita bisa berpengetahuan luas lebih dari pada mereka. Dan pengetahuan inilah yang seharusnya membuat kita semakin merunduk. Dari baris itu juga dapat kita temui adanya sajak akhir dan sajak paruh.


belas kasihmu ibarat samudra pada kalimat ini terdapat simile. sempit lautan teduh lautan yang luas itu kalah bila dibandingkan dengan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Kemudian dari kasih sayang inilah seorang anak bisa belajar mengenai sebuah kehidupan yang pelik, dan mengetahui sebuah kebenaran. Hal ini di sampaikan Zawawi melalui sajaknya tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/ tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh. Kamudian kata “lumut” disini bagi saya adalah sebuah metafor, dimana maknanya adalah diri yang tidak berpengetahuan dan banyak kesalahan. Juga kita temukan adanya sajak dalam dan sajak paruh. lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku pada baris ini “lokan-lokan, mutiara, dan kembang laut “ adalah gambaran dari apa yang diberikan ibu kepada anak, segalanya diberikan.  kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/ namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu. Kita tahu, bahwa pahlawan adalah orang yang berjasa besar. Hal ini menggambaran bahwasanya ibu adalah pahlawan pertama bagi seorang anak. Dalam bait ini kita melihat adanya efoni “U” yang banyak sekali digunakan. Juga kita temui adanya unsur persajakan yakni sajak akhir, sajak paruh dan sajak dalam. Seperti pada baris lantaran aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu.


bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal, Baik, kita kembali menemukan sajak akhir pada bait ini. Kemudian juga kita temui lagi repitisi “bila aku” namun dalam baris ini kata “merantau” di ganti dengan kata “berlayar” yang mempunyai makna yang sama yakni jauh dari ibu.


Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala , Zawawi mengibaratkan ibu dengan keindahan yang luar biasa menggunakan kalimat “bidadari yang berselendang bianglala”.  Sesekali datang padaku/ Menyuruhku menulis langit biru/ dengan sajakku lagi kita temui sajak paruh dan sajak akhir. Pada bait ini juga kita temui adanya efoni “U”.  kemudian juga kita temui enjambement pada kalimat “menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku” yang seharusnya ini adalah satu kalimat, tetapi dipisah oleh spasi. Bagi saya ini adalah bentuk penegasan dari Zawawi Imron bahwa dirinya adalah seorang penyair.

Mengenai hal ini, sedikit berbagi pengalaman, Zawawi Imron adalah guru saya pada bidang Syarhil Qur’an. Pada saat pembinaan di Surabaya beliau selalu membacakan puisi ini sebelum memulai pembinaan. Kemudian beliau bercerita, mengenai pembuatan puisi ini. Sewaktu beliau meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau menuntut ilmu, dipelabuhan beliau diberi pesan oleh ibundanya, agar menulis di langit. Agar semua orang di dunia ini bisa membaca sajak-sajaknya.

 Sampai sini yang dapat Kubagikan ke teman-teman semua. Semoga Bermanfaat!!

ANALISIS NOVEL ORANG-ORANG PROYEK KARYA AHMAD THOHARI


ANALISIS ALIRAN DAN UNSUR INTRINSIK NOVEL ORANG-ORANG PROYEK KARYA AHMAD THOHARI

A. Aliran
            Dalam dunia seni, termasuk seni sastra, keyakinan atau sebuah paham akan terpancar dalam seluruh hasil penciptaan, baik dalam aspek bentuk maupun isi. Bahkan tidak jarang aliran tersebut juga mempengaruhi gaya dan sikap pengarang. (Hadimadja, 1972;14)
            Aliran-aliran tersebut juga ikut merasuk dan mempengaruhi perkembangan karya sastra di Indonesia, termasuk dalam cerita fiksi. (Suminto, 2017;8). Salah satu aliran tersebut adalah naturalisme. Aliran naturalisme ini juga dianut Ahmad Thohari dalam penulisan novel Orang-Orang Proyek.
            Pada prinsipnya, batas antara naturalisme dengan realisme agak kabur. Sama halnya dengan Realisme, naturalisme juga muncul sebagai reaksi terhadap romantisme. Pengarang naturalisme juga melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat dan dirasa oleh pancaindra. Hal yang membedakannya, dalam aliran naturalisme, umumnya, para pengarang terutama memusatkan perhatian pada alam, pada manifestasi kebendaan dari kehidupan manusia. Pengungkapan dan penggambaran manusia sebagai makhluk dalam alam dengan hasrat dan kekurangan yang dimiliki. (Suminto, 2017;24)  
            Berbeda dengan realisme,  dikatakan bahwa dalam aliran naturalisme pengarang ikut terlibat dan “mengendalikan” objek yang akan diungkapkan. Pengarang mempunyai kekuasaan atas pandangan dan visi terhadap alam semesta yang dilukiskan. (Suminto, 2017;25)
            Sebagai contoh dari uraian tersebut, dikutip dibawah ini pemaparan naturalisme dalam cuplikan bagian pertama novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari.
           Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung begitu cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta membawa segala macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastic, batang pisang, sampai batang mahoni.
           Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Di tebing yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air. Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.
           Tapi pohon mbulu itu masih kukuh disana. Mungkin karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski banjir sempat menyentuh ujung-ujung rantingnya yang bergantung di atas air, pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama goyangan ranting ketika angin bertiup.  Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air dibawahnya masih belum sepenuhnya surut seperti sediakala.
           Ketenangan dibawah pohon mbulu itu seakan diberi bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi sungai Cibawor itu sebagai tempat yang paling di sukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang jernih, naungan pohon mbulu itu juga member kesempatan orang melihat bayangan langit serta kelebat burung laying-layang. Pada saat demikian, pemancing tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di sekitarnya.
           Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.
           “Kukira air sudah kembali jernih, ternyata masih keruh,” gumam lelaki itu, mungkin kepada burung-burung emprit di atas kepalanya. “Kalau air masih keruh seperti ini, percuma saja aku memasang pancing.”
           Lalu dengan jarinya yang Nampak kering lelaki itu tampak mengatur cincin serulingnya. Dengan menekan cincin yang terbuat dari serpih bambu itu lebih dalam, dia ingin membuat suara serulingnya selirih mungkin. Dia memang selalu ingin meniup seruling hanya untuk didengar sendiri. Dia tidak bermaksud mengalunkannya untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri pun tak perlu mendengar karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.
           Ketika ujung-ujung ranting yang menggantung itu mulai bergoyang oleh sentuhan angin, ketika burung-burung kecil itu mulai mencicit-cicit di seputar sarang mereka, dari bawah kerindangan pohon mbulu itu samar-samar mulai terdengar alunan seruling. Demikian samar sehingga ketika angin bertiup kencang, suara itu luluh oleh desah angin yang menerobos dedaunan.
           Pemancing tua itu dengan serulingnya sedang asyik berdendang sendiri. Alunan itu membawanya mengembara ke ruang jiwa dengan rasa yang amat mendalam. Dia merasa melayang, bersentuhan dengan puncak kesadaran, dan dari sana dia merasakan hadirnya kearifan alam semesta. Kearifan itu, yang dia sendiri sulit menjelaskannya, sering terasa hadir dan membuatnya begitu tanang, genap, mapan. Ayem. Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak. Atau ayemnya anak bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan. Ya, orang yang sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah berhasil mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.
           Dengan duduk bersandar pada batu besar, dengan mata setengah tertutup pemancing tua itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan menyapa puncak-puncak rasa. Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan batin yang sangat mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya beberapa langkah di sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di pinggangnya, tidak segera menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam getar irama seruling yang ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir jatuh oleh embusan angin sehingga dia harus membuat gerakan nyata, pemancing itu takkan melihatnya. Dan suara seruling pun mendadak berhenti. Sejenak lengang.
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 5-8
            Dalam cuplikan tersebut pengarang menggambarkan alam begitu detail.  Penggambaran tersebut kemudian diisi dengan kemunculan seorang tokoh yang mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk alam yang memiliki hasrat. Seperti dalam kalimat “Dia tidak bermaksud mengalunkannya untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri pun tak perlu mendengar karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.” Sedangkan dalam kalimat “Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak. Atau ayemnya anak bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan. Ya, orang yang sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah berhasil mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.” Menggambarkan bahwa pusat pribadi pengarang ikut berbicara.
            Naturalis amat mementingkan alam semesta. Hal itu sejalan dengan pengertian awalnya bahwa natural berarti alam, kodrat, tabiat. Tokoh-tokoh naturalisme mengungkapkan aspek-aspek alam semesta yang bersifat fatalis dan mekanis. Ia juga mementingkan gerak dan aktivitas manusia yang mewujudkan kebendaan serta kehidupan moral yang rendah. Kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dalam naturalisme disampaikan dengan teliti karena telah melalui eksperimentasi seperti dalam ilmu pengetahuan. (Suminto, 2017;25)
            Sebagai contoh dari uraian tersebut, sedikit cuplikan dari bagian kedua novel “Orang-Orang Proyek” bisa membuktikan bahwa novel ini beraliran naturalisme.
            “Begitulah. Dan aku datang untuk bertanya apakah tadi malam mereka mengunjungimu?”
            “Tidak,” jawab Kabul sambil menggeleng. Pundaknya jatuh. Menghela napas panjang. Kabul khawatir omongan Basar akan jadi kenyataan, dan proyek akan menanggung beban cukup berat untuk HUT GLM.
            “Kamu mau apa bila mereka, orang-orang GLM itu, datang kepadamu?”
            Kabul tampak gelisah
            “Mereka pasti akan datang kan?” Ulang Basar.
            “Ya, atau bahkan Pak Dalkijo sendiri yang akan menyuruhku melayani segala kebutuhan dan permintaan mereka.”
            “Kalau benar begitu, kamu bagaimana?”
            Kabul kelihatan makin gelisah.
            “Kamu sendiri bagaimana?” Kabul balik bertanya kepada Basar. Dan kegelisahan itu menjalar dari Kabul ke Basar. Kades itu mengangkat alis. Lama terdiam sebelum akhirnya Basar membuka mulut.
            “Memang salahku, bekas aktivis jadi Kades di zaman Orde Baru yang gila ini,” Keluh Basar. “Ternyata tugas utama Kades zaman Orde Baru bukan melayani masyarakat, melainkan GLM. Ini konyol, malah menjijikkan. Kalau sejak dulu aku sadar akan hal ini, aku tak mau jadi Kades. Sialnya, semua ini sudah terlanjur. Apakah aku harus berhenti?”
            “itulah pertanyaannya.”
            “Bila aku berhenti, apakah desaku akan menjadi lebih baik? Apa ini tidak berarti aku melepaskan tanggung jawab dan membiarkan warga desaku mengalami salah pimpin dan salah urus seperti dulu?”
            Basar berhenti bicara dan wajahnya sudah merah. Di atas mereka rumpun bambu bergoyang dan daun-daunnya yang kuning luruh. Anger mengalir membawa bau tanah kering dan debu proyek. Si raja udang datang lagi, hinggap di cabang satu depa di atas air, manggut-manggut, terbang lagi setelah tahu Basar dan Kabul masih di sana. Gumpalan-gumpalan lumut hanyut perlahan, dan meruncing ketika memasuki air deras. Anak-anak ikan wader berkerumunan sambil makan tinja yang mengapung dan hanyut di permukaan air.
            “kamu yakin dirimu dibutuhkan warga?”
            “Tepat. Pertanyaan itu sering mengusik diriku. Dan di sana pula keputusan kugantung. Menurutmu bagaimana?”
            “Aku jujur. Bukan hanya desa ini, melainkan semua desa, membutuhkan lurah atau Kades seperti kamu. Kukira perubahan harus dimulai dari desa. Sayang, aku tahu hal ini tidak mudah dalam system kekuasaan gila seperti saat ini.”
            “Terima kasih. Kalau kamu bilang aku dibutuhkan, aku akan mencoba bertahan. Aku akan bersiasat untuk sedikit mengurangi dampak kerakusan GLM, agar kerusakan desaku tak terlalu parah. Ya kalu benda rusak, tapi kalu hati dan moral rakyat serta nilai-nilai yang hidup disini?”
            “Baguslah. Tapi persiapkan mentalmu karena yang akan kamu hadapi adalah system kekuasaan kemaruk-mumpung yang sudah dibangun selama seperempat abad. Kamu tidak bakalan berhasil penuh.”
            “Hal itu sangat kusadari. Maka aku bilang, paling-paling aku hanya bisa mengurangi dampak kerakusan dan ke-kemaruk-an kuasa mereka terhadap warga desa ini.”
            “Dan pada dasarnya aku pun sama. Aku tidak ingin mengambil tindakan tinggal glanggang colong playu. Aku ingin bertahan sampai proyek ini selesai dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan mutunya kepada rakyat….”
            “Bukan kepada Pak Dalkijo atau Bupati?” Basar tertawa.
            “Bukan,” ujar Kabul sengit. “Malah bukan juga kepada DPRD yang Cuma legislatif-legislatifan itu. Tapi seperti kamu juga, rasanya aku juga tak akan sepenuhnya berhasil. Entahlah.”
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 106-108

Dalam kutipan tersebut, penulis menggambarkan alam semesta yang bersifat fatalistik melalui tokoh-tokohnya. Dimana Kabul dan Basar sebagai mantan aktivis kampus yang sebenarnya mengetahui berbagai masalah dalam negara ini pada masa Orde Baru, bahwa pembangunan dilakukan bukan atas kepentingan rakyat, melainkan kepentingan partai yang berkuasa pada masa itu. Namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengatasi hal itu. Bahkan tidak bisa menghindarkan dirinya dari problematika yang seakan sudah menjadi hukum alam. Dalam kutipan tersebut juga sedikit tergambarkan bahwa dalam novel ini mejelaskan bagaimana menurunnya moral manusia dalam berbangsa dan bernegara.

B. Tokoh
Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan). Karena acapkali sebuah fiksi melibatkan beberapa tokoh, perlu bagi kita untuk pertama kali menentukan tokoh sentralnya. (Suminto, 2017;106)
Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam cerita. Peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. jelasnya, tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan, paling tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu paling terlibat dengan makna atau tema. Kedua, tokoh itu paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, tokoh itu paling banyak memerlukan waktu penceritaan. (Suminto, 2017;107)
Di dalam novel “Orang-Orang Proyek ini, kita temui Kabul sebagai tokoh sentral atau tokoh utamanya. Untuk dapat menjelaskan perihal tokoh sentral tersebut, ada baiknya kita kembali membuktikan melalui tiga cara yang diungkapkan di atas.
Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema. Melalui sedikit cuplikan di atas kita bisa melihat tema yang diangkat oleh Ahmad Thohari dalam novel ini, yakni kenyataan politik yang dibenturkan dengan nilai kemanusiaan. Ahmad Thohari disini mengangkat idealisme dan kejujuran harus ditegakkan dalam situasi apapun. Novel ini banyak mengkritisi praktik-praktik rezim Orde Baru yang hampir mencampuri seluruh kehidupan masyarakat Indonesia di era 1980-1990-an. Dari sini kemudian kita bisa melihat pada ceritanya bahwa tokoh Kabul lah yang dapat mewakili seluruh makna moral yang diangkat oleh Ahmad Thohari ini. Dimana dalam novel menceritakan idealisme tokoh Kabul yang memegang teguh prinsip kejujuran dan profesionalisme dalam bekerja, sehingga memilih untuk mundur dari pekerjaan yang di dalamnya penuh dengan praktik korupsi.
Kedua, tokoh itu paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Dan ketiga, tokoh tersebut membutuhkann banyak waktu penceritaan. Baiknya, kita lihat kembali novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari ini. Berdasarkan frekuensi kehadiran dan keterlibatannya bisa dipastikan bahwa tokoh Kabul adalah tokoh sentralnya. Dari setiap bagian, dari bagaian pertama hingga bagian kelima novel ini, Kabul hampir mendominasi dan selalu hadir dan terlibat dalam cerita tiap bagian itu.
Disamping hal-hal yang sudah disebutkan dengan contoh sederhana di atas, tokoh fiksi juga dapat dibedakan berdasarkan watak atau karakternya. Yakni segi-segi yang mengacu pada perbauran antara minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu tokoh. Untuk itu dikenal adanya tokoh sederhana, simple, atau flat characters dan tokoh kompleks, atau round characters. (Suminto, 2017;109)
Tokoh yang sederhana atau datar ialah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Sedangkan, tokoh kompleks atau tokoh bulat ialah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh bulat lebih memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan sikap dan obsesi yang tunggal. (Suminto, 2017; 109-110)
Dilihat dari uraian tersebut, kita bisa melihat tokoh Kabul mengarah pada spektrum kompleksitas. Sehingga kemudian bisa dikatakan bahwa tokoh utama dalam novel “Orang-Orang Proyek” digolongkan pada tokoh bulat berdasarkan watak atau karakternya. Seprti dapat kita ketahui bahwa tokoh bulat lebih memiliki sifat lifelikeness yang merupakan bentuk relevansi. Tokoh yang bersifat alamiah (natural), dalam arti bahwa tokoh-tokoh itu memiliki kehidupan atau berciri “hidup” : tokoh memiliki derjat kesepertihudupan (lifelikeness).  (Suminto, 2017;102)
Dalam kehidupan kita yang sesungguhnya, tidak ada seorang pun manusia yang karakternya dapat diringkaskan secara memadai dalam satu formula tertentu seperti yang dapat dilakukan pada tokoh simple. Manusia-manusia yang sesungguhnya pasti mampu buat kita terkejut. (Suminto, 2017;115)
Begitupun dapat kita temui pada karakter Kabul dalam karyanya Ahmad Thohari yang dapat menggambarkan kesepertihudapan, artinya seperti mewakili apa yang juga terjadi dalam cerita kehidupan yang sesungguhnya pada masa Orde Baru.  Dapat kita buktikan bahwa dalam novel ini, bagaimana Ahmad Thohari menyampaikan aspek moral dan politiknya melalaui tokoh Kabul pada kutipan dibawah ini:
Tanpa terasa proyek sudah berjalan tiga bulan. Namun karena dimulai ketika hujan masih sering turun, volume pekerjaan yang dicapai berada di bawah target. Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan. Jengkel karena sesungguhnya hambatan ini bisa dihindari bila pemerintah sebagai pemilih proyek dan para politikus tidak terlalu banyak canpur tangan dalam tingkat pelaksanaan.
Dan campur tangan itu ternyata tidak terbatas pada penentuan awal pekerjaan yang menyalahi rekomendasi para perancang, tapi masuk juga ke hal-hal lain. Proyek ini, yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa. Kendaraan-kendaraan proyek wajib ikut meramaikan perayaan HUT golongan itu. Malah pernah terjadi pelaksana proyek diminta mengeraskan jalan yang menuju rumah ketua partai golongan karena tokoh itu akan punya hajat. Bukan hanya mengeraskan jalan, melainkan juga memasang tarub. Belum lagi dengan oknum sipil atau militer, juga oknum-oknum anggota DPRD yang suka minta uang saku kepada bendahara proyek kalau mau plesir ke luar daerah.
Dan ternyata orang-orang kampung pun ikut-ikutan nakal. Bila mereka hanya minta ikut memakai kayu-kayu bekas atau meminjam generator cadangan untuk keperluan perhelatan, masih wajar. Tapi kenakalan mereka bisa lebih jauh. Mungkin karena tahu banyak priyayi yang ngiwung barang, uang, atau fasilitas proyek, mereka pun takmau ketinggalan. Selain menyuap kuli untuk mendapatkan semen, paku, atau kawat rancang, mereka juga meminta besi-besi potongan, kata mereka, untuk membuat linggis.
Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk. Truk yang masuk sepuluh kali bisa dicatat menjadi lima belas kali, dan untuk kecurangan itu dia menerima suap dari para sopir.
Namun menghadapi semua tingkat kebocoran itu, Insinyur Dalkijo- atasan Kabul, seperti tak menanggung beban apapun. Suatu saat ketika bersama-sama berada di rumah makan, Kabul mengeluh atas tingginya angka kebocoran yang berarti beban tambahan cukup besar yang harus dipikul oleh anggaran proyek.
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 29-30
 Dalam kutipan tersebut dapat kita lihat banyaknya kemerosotan moral manusia pada zaman Orde Baru. Dimana banyak oknum dan berbagai pihak bersaing agar tidak ketinggalan melakukan kecurangan demi mendapatkan apa yang bukan haknya. Namun, dalam keadaan yang sudah demikian mengibakan, Kabul masih kokoh mempertahankan idealismenya agar tetap jujur dan professional.
Selain hal-hal di atas, perlu adanya pembahasan mengenai bagaimana pengarang menggambarkan tokoh. Cara penggambaran tokoh ada tiga macam, yakni metode diskursif, metode dramatis, metode kontekstual dan metode campuran. Nah, bisa kita analisis bahwa novel “Orang-Orang Proyek” ini mengikuti cara penggambaran tokoh melalui metode dramatis.
Disebut metode dramatis karena tokoh-tokohnya dinyatakan seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri melalui kata-kata, tindakan-tindakan, atau perbuatan mereka sendiri. Oleh karena itu dibandingkan dengan metode diskursif, metode dramatis lebih bersifat lifelike dan mengundang partisipasi aktif pembaca dalam cerita. Pemakaian metode dramatis untuk menggambarkan watak tokoh dapat dilakukan dengan baik dalam berbagai teknik. (Suminto; hlm 121-122)
Pertama, teknik pemberian nama tertentu.
Kedua, teknik cakapan. Di dalam teknik cakapan tercakup ragam duolog dan dialog. Duolog adalah cakapan antara dua tokoh saja, sedangkan dialog ialah kata-kata yang diucapkan para tokoh dalam percakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh. Berikut ini contohnya.
“Wah, bagus sekali. Tak tahunya Pak Taryapandai main seruling?”
“Eh, Mas Kabul? Aduh, saya jadi malu. Aduh, kok Anda sampai di tempat terpencil ini?”
“Jujur saja karena, meskipun hanya lamat-lamat, saya mendengar suara serulingmu.”
“Ah, saya malu. Saya kan hanya tukang mancing dan Anda insinyur, pelaksana pembangunan jembatan. Kok Anda mau ngumpul dengan saya di tempat yang kurang pantas ini?”
“Apa Pak Tarya keberatan? Kalau begitu maafkan, saya telah mengganggu keasyikan Pak Tarya”
“Tidak apa-apa Mas. Wong saya di sini juga sedang merasa buuntu. Dari rumah sih mau mancing. Tapi sampai pinggir kali ini ternyata air masih keruh. Yah, terlanjur sudah pergi dari rumah,, maka daripada tak berbuat apa pun, main seruling jadilah.”
“Tapi tiupan seruling Pak Tarya sungguh enak didengar. Saya tidak mengira Pak Tarya bisa main sebagus tadi.”
Ah, saya jadi malu. Yah, sampean tidak tahu saya suka main seruling karena kita belum lama berkenalan. Sampean pendatang dan saya orang sini asli. Kalau bukan karena proyek pembuat jembatan di hilir itu, mungkin kita tak pernah bertemu.”
“Ya, smpai beberapa hari yang lalu saya hanya tahu Pak Tarya tukang mancing. Tapi kini saya sudah dapat informasi yang lebih lengkap bahwa sebetulnya Pak Tarya adalah pensiunan pegawai Kantor Penerangan. Selain itu, Pak Tarya ketika muda pernah lama mengembara ke Jakarta. Iya, kan?”
“Informasi itu sedikit benarnya, banyak salahnya.”
“Tak ada guna menutup-nutupi jati dirimu, Pak. Malah ada orang bilang, ketika berada di Jakarta, Pak Tarya pernah bekerja di penerbitan. Jadi wartawan?”
“Ah, Cuma sebentar”
                                       Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm 9-10
Cakapan tersebut adalah cakapan antara tokoh Kabul dengan Pak Tarya. Dari cakapan tersebut kita dapat mengenal bahwa Kabul adalah seorang insinyur yang ditugaskan untuk menjadi pelaksana dalam proyek pembangunan jembatan. Sedang Pak Taryo adalah seorang pensiunan pegawai Kantor Penerangan, juga wartawan yang sekarang menjadi seorang tukang mancing dan memiliki kemampuan bermain seruling.
Ketiga, teknik penggambaran pikiran tokoh atau apa yang melintas dalam pikirannya. Mengenai teknik ini tidak dapat dipisahkan secara pilah benar dengan teknik cakapan karena pikiran seorang tokoh seringkali tertuang dalam cakapannya. (Suminto; hlm 124) kutipan berikut ini adalah contohnya.
 “Eh, cerita yang lain, Mas. Saya tergoda untuk bertanya, mengapa pagi ini Anda berada di sisni? Bukankah tempat ini hanya pantas didatangi tukang mancing seperti saya?”
“Begini, Pak. Tadi saya sedang melihat-lihat lokasi pembangunan jembatan. Tahu kan, banjir kemarin dulu telah merusak persiapan pembuatan tiang jembatan? Saya menyusuri tepian sungai kea rah hulu tanpa tujuan tertentu sampai saya mendegar sayup-sayup serulingmu.”
“Lupakan spal seruling. Saya lebih tertarik bicara tentang banjir kemarin dulu itu. Mas, saya tahu, wong saya malah ikut nonton. Dahsyat ya, Mas? Saya melihatnya sejak bah datang. Ketika ada pohon mahoni besar hanyut dan tersangkut di tiang pancang yang baru ditanam, semua orang jadi tegang. Semula tiang itu tetap tegak. Namun ketika datang lagi pohon-pohon yang hanyut dan ikut menekan, tiang pancang itu perlahan-lahan miring.”
“itulah yang membuat saya tertekan, pusing. Karena beton pancang sudah miring, pekerjaan harus diulang dari awal lagi. Nah, bila kau merasa pusing, Pak Tarya, kau bisa menghibur diri dengan main seruling. Tapi saya?”
“O, begitu? Rupanya sampean pusing karena banjir telah merusak pekerjaan sampean?”
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm.10-11
Yang tertuang di atas adalah pikiran-pikiran tokoh terhadap banjir yang merusak jalannya sebuah proyek pembangunan. Pikiran- pikiran Kabul dan Pak Tarya terhadap banjir ini, menunjukkan simpati mereka terhadap sebuah pembangunan yang akan mengalami kerugian serta kemunduran penyelesaian pembangunan.
Keempat, teknik arus kesadaran (stream of consciousness). Teknik ini merupakan cara penceritaan untuk menangkap dan melukiskan warna-warni perkembangan karakter, yakni ketika persepsi bercampur dengan kesadaran atau setengah kesadaran dengan kenangan dan perasaan. (Suminto; hlm 125) Perhatikan kutipan di bawah ini.
“Kalau ngantuk tidurlah, Mas.” Ujar Pak Tarya. “Ah, saya ingin dapat satu lagi supaya perolehan kita patut dibawa pulang.”
Dia merebahkan diri. Kini langit seakan tidak lagi di atas, tetapi dihadapannya. Kabul teringat pelajaran astronomi di SMA. Kata pak guru, memandang bintang gemintang sama dengan memandang masa lalu. Ribuan bintang yang saat ini kelihatan dari bumi sesunguhnya sudah tidak eksis lagi. Namun karena letaknya yang berjarak puluhan juta tahun cahaya, penampakan sebuah bintang masih berlangsung meskipun sesungguhnya bintang itu sudah lama padam. Dengan kata lain, ribuan bintang yang tampak itu sebagian adalah bintang masa lalu dan kini sudah tidak ada lagi.
“Mas Kabul,” suara Pak Tarya memecah sunyi. “yang sedang sampean garap ini proyek yang ke berapa?”
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 77
Disini kita melihat penggambaran bagian dari warna-warni perkembangan karakter tokoh Kabul. Disaat Kabul melihat langit pikirannya terbang pada masa lalunya yang teringat akan pelajaran SMA-nya mengenai bintang. Dimana disana terdapat persepsi yang bercampur setengah kesadaran dengan kenangan dan perasaan. Kita juga dapat mengetahui dari kutipan tersebut bahwa tokoh Kabul adalah orang yang cerdas dan beringatan kuat sehingga pelajaran SMA-nya masih teringat.
Kelima, teknik pelukisan perasaan tokoh. Jika dalam teknik pelukisan pikiran menekankan pada pikiran-pikiran tokoh, teknik pelukisan arus kesadaran menekankan pada pelukisan pengalaman bawah sadar, dan teknik pelukisan perasaan menekankan pada penggambaran perasaan tokoh yang tidak termasuk pengalaman bawah sadar. Hanya saja, ketiganya dapat dimunculkan secara bersamaan untuk memberikan intensitas penyajian tokoh. (Suminto; hlm.129)
Agar lebih jelas berikut dikutipkan contoh bagaimana Ahmad Thohari melukiskan perasaan tokoh Kabul dalam novel “Orang-Orang Proyek”.
“kok sampean begitu pesimis?”
“Begini. Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan. Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang akan kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini tidak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa penyelewengan dan kecurangan apapun. Tapi ternyata saya tidak bisa. Proyek ini dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas, yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatanan, tapi biaya yang dikeluarkan dan harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar mutu.”
Kabul menarik napas untuk menekan emosi yang sulit dibendung. Tapi Pak Tarya dalam kebiasaannya ber-he-he-he, meskipun dia sudah yakin kegelisahan Kabul bukan perkara main-main.
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 81
Kutipan diatas melukiskan bagaimana perasaan Kabul. Perasaan gelisah dan bingung yang dirasakan akibat pekerjaannya yang tidak sesuai dengan yang ia pikirkan. Perasaan gelisah itu menggambarkan sifat dan wataknya yang sesungguhnya jujur.
Keenam, teknik perbuatan tokoh. Tindakan, perilaku, dan perbuatan tokoh dapat membawa kita kepada pemahaman tentang watak dan sifatnya, kepada karakter yang sesungguhnya.
“selarut ini Pak Tarya mau mancing?” Tanya Kabul melihat temannya itu membawa peralatan pancing tapi tampak berbeda dari peralatan yang biasa dia bawa. Pak Tarya berjaket dan bertutup kepala rajut. Dia juga menenteng gulungan tikar plastic.
“biasa Mas Kabul. Saya mau mancing ikan moa. Di sini orang bilang ikan pelus.”
“Ya, saya tahu. Saya dengar ikan jenis itu biasa dipancing malam hari.”
“Sebetulnya saya sudah lama disini. Sejak lepas Isya. Tapi karena ingin lebih dulu ikut meramaikan pentas Tante Ana, soal mancing saya tunda dulu sementara.”
“Nanti dulu, Pak Tarya. Besok hari Minggu, kan?”
“Ya.”
“Nanti dulu. Anu.” Kabul tampak ragu. Dan menggaruk kepala.
“Bagaimana bila saya ikut? Boleh?”
“Aduh, Mas Kabul. Jangan. Bukan saya tidak mau diikuti., tapi sampeyan tak pantas malam hari berada di pinggir kali. Jadi…”
“Saya ingin mendapat pengalaman baru. Bagaimana sih rasanya mancing dimalam hari?”
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 71
Di atas dapat kita lihat bahwasanya tokoh Kabul memiliki budi pekerti yang luhur. Dia tidak pandang bulu saat berteman. Meski dia adalah seorang insinyur dan seorang pimpinan proyek tapi dia mau ikut memancing bersama Pak Tarya. Disana juga kita bisa melihat seorang kabu, yang selalu haus akan pengalaman.
ketujuh, teknik sikap tokoh. Watak dan sikap tokoh dilukiskan dalam menanggapi hal-hal yang berada disekitar dirinya. (Suminto; hlm.131) Pada novel “Orang-Orang Proyek”, hal itu tampak pada kutipan berikut.
“Begini. Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan. Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang akan kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini tidak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa penyelewengan dan kecurangan apapun. Tapi ternyata saya tidak bisa. Proyek ini dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas, yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatanan, tapi biaya yang dikeluarkan dan harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar mutu.”
Kabul menarik napas untuk menekan emosi yang sulit dibendung. Tapi Pak Tarya dalam kebiasaannya ber-he-he-he, meskipun dia sudah yakin kegelisahan Kabul bukan perkara main-main.
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 81
Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bagaiman Kabul menyikapi apa yang sebenarnya terjadi dalam proyek yang digarapnya dengan jujur dia ceritakan pada Pak Tarya. Dia tidak ingin dirinya masuk kedalam golongan rayap-rayap yang doyan akan bahan bangunan itu. Namun, keadaan membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk dapat menghentikan kenistaan itu.
kedelapan, teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu. Untuk lebih jelasnya berikut ini kutipan dalam novel “Orang-Orang Proyek” mengenai teknik tersebut.
“Tadi Wati kemari dancerita dengan wajah gembira. Dia bilang, kemarin diajak Pak Insinyur makan pagi di rumah Pak Tarya. Lauknya pepes ikan pelus. Tapi katanya, wati makan sedikit karena sudah senang dibonceng Pak Insinyur. Dan, Pak Insinyur kalian berdua dilihat banyak orang.kukira orang akan percaya bila dikatakan ada apa-apa antara Pak Insinyur dengan Wati, Nah.”
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 110
Kutipan di atas menggambarkan perkembangan karakter tokoh Wati. Melalui cerita Mak Sumeh kita dapat mengetahui bahwa Wati sebenarnya suka dengan Kabul. 
kesembilan, teknik pelukisan fisik. Karena watak dan sifat dasar manusia dapat dilihat dari wujud fisiknya, teknik pelukisan fisik juga sering dipergunakan dalam fiksi untuk melukiskan watak dan sifat-sifat tokoh tertentu. Dalam kaitan ini, pengarang dapat menyatakan secara langsung wujud fisik tokoh-tokohnya, dan dapat pula melalui mata dan pandangan tokoh lainnya. (Suminto; hlm. 134) Misalnya saja terlihat dalam kutipan berikut.
Dengan duduk bersandar pada batu besar, dengan mata setengah tertutup pemancing tua itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan menyapa puncak-puncak rasa. Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan batin yang sangat mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya beberapa langkah di sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di pinggangnya, tidak segera menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam getar irama seruling yang ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir jatuh oleh embusan angin sehingga dia harus membuat gerakan nyata, pemancing itu takkan melihatnya. Dan suara seruling pun mendadak berhenti. Sejenak lengang.
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 8
Di sana penggambaran tokoh Kabul langsung disampaikan oleh pengarangnya. Laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan panjang serts perkakas radio terselip dipinggangnya. Dimana hal itu menggambarkan bahwa Kabul adalah bagian dari pimpinan pelaksana proyek jembatan di atas sungai Cibawor yang sudah digambarkan pada bagian sebelumnya.
sepuluh, teknik pelukisan latar. Teknik ini juga sering dipakai untuk menggambarkan tokoh karena latar sering pula dapat menunjukkan tokoh dank arena latar merupakan lingkungan yang hakikatnya dapat dilihat sebagai perluasan diritokoh. (Suminto; hlm. 135) Untuk hal itu, kita dapat kembali pada bagian awal “Orang-Orang Proyek”.
Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung begitu cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta membawa segala macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastic, batang pisang, sampai batang mahoni.
           Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Di tebing yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air. Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.
           Tapi pohon mbulu itu masih kukuh disana. Mungkin karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski banjir sempat menyentuh ujung-ujung rantingnya yang bergantung di atas air, pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama goyangan ranting ketika angin bertiup.  Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air dibawahnya masih belum sepenuhnya surut seperti sediakala.
           Ketenangan dibawah pohon mbulu itu seakan diberi bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi sungai Cibawor itu sebagai tempat yang paling di sukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang jernih, naungan pohon mbulu itu juga member kesempatan orang melihat bayangan langit serta kelebat burung laying-layang. Pada saat demikian, pemancing tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di sekitarnya.
           Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm. 5-6
Dalam kutipan di atas tampak dengan jelas bagaimana pengarang melukiskan suasana latar yang erat sekali kaitannya dengan suasana kejiwaan tokoh Pak Tarya dalam novel “Orang-Orang Proyek”. Ketenangan dibawah pohon mbulu itu digambarkan seperti kesukaan Pak Tarya yaitu berkawan dnegan keheningan.
Dalam sebuah fiksi, penunjukkan karakter hanya merupakan salah satu bagian dari kerja kepengarangan. Seorang pengarang tidak cukup hanya menunjukkan karakter-karakter tokohnya saja, tetapi juga terutama dalam novel perlu memperhatikan pengembangan tokoh-tokohnya. (Suminto; hlm. 139)
Seperti tampak pada novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari ini, bukan penunjukkan watak dan sifat Kabul yang paling utama, melainkan perkembangan karakter tokoh melalui tahapan-tahapan tertentu yang lebih penting untuk dicermati.
Akan tetapi, semua tokoh harus selalu dilihat sebagai satu elemen dalam sebuah keseluruhan artistik yang lebih besar. Dalam hubungan ini, penting untuk dicatat ialah adanya motivasi dalam fiksi, yakni titik persinggungan antara tokoh dan plot. Plot sebagian besar terdiri dari apa yang dilakukan oleh para tokoh dalam melakukan sesuatu.
Motivasi tokoh dalam fiksi dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat umum dan yang khusus. Dalam sifatny yang umum, motivasi mencakup dorongan manusia yang paling mendasar seperti cinta, kelaparan, ketamakan, dan hal-hal yang sejenis dengannya. Motivasi khusus melibatkakn penerapan yang bersifat individual dari dorongan-dorongan mendasar tersebut. (Suminto; hlm.140)
Jika Kabul dalam novel “Orang-Orang Proyek” bertindak professional dalam pekerjaannya dan mempunyai idealisme untuk tetap mempertahankan kejujuran dalam keadaan apapun, seperti apa yang dia pelajari saat di bangku kuliah. Meski dalam kondisi Orde Baru yang sangat sulit untuk melepaskan diri dari kenyataan dan keadaan yang anti kejujuran bahkan hingga berakibat pada mutu pembangunan negara yang tidak mencapai standart. Namun, Kabul masih tetap mempertahankan kejujurannya dan memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya serta memilih untuk bekerja pada proyek swasta. Sesungguhnya hal itu merupakan motivasi khusus yang merupakan penerapan motivasi umum, yakni kejujuran.
Untuk melihat bagaimana tokoh berkoherensi dengan plot. Misalnya, kita seharusnya berusaha mengidentifikasi motivasi yang terdapat didalamnya, baik yang umum maupun yang khusus. Motivasi suatu tindakan yang dilakukan tokoh pada dasarnya merupakan bagian dari kemasukakalan (plausibility) suatu cerita.  (Suminto; hlm. 140)
Keputusan Kabul untuk keluar dari proyek pembangunan jembatan itu karena praktik korupsi di dalamnya yang tidak sesuai dengan ideologi Kabul. Keadaan lah yang memaksanya harus berhenti dan keluar dari proyek tersebut sebelum pembangunan itu selesai berada dibawah pimpinannya. Ketakutannya akan mutu rendah yang dihasilkan dari pembangunan karena adanya praktik kecurangan di dalamnya. Nah, itu merupakan motivasi yang menyebabkan cerita itu menjadi masuk akal.
C. PLOT
Kutipan ini merupakan bagian awal novel “Orang-Orang Proyek” karya Ahmad Thohari.
Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung begitu cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta membawa segala macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastic, batang pisang, sampai batang mahoni.
           Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Di tebing yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air. Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.
           Tapi pohon mbulu itu masih kukuh disana. Mungkin karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski banjir sempat menyentuh ujung-ujung rantingnya yang bergantung di atas air, pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama goyangan ranting ketika angin bertiup.  Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air dibawahnya masih belum sepenuhnya surut seperti sediakala.
           Ketenangan dibawah pohon mbulu itu seakan diberi bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi sungai Cibawor itu sebagai tempat yang paling di sukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang jernih, naungan pohon mbulu itu juga member kesempatan orang melihat bayangan langit serta kelebat burung laying-layang. Pada saat demikian, pemancing tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di sekitarnya.
           Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.
           “Kukira air sudah kembali jernih, ternyata masih keruh,” gumam lelaki itu, mungkin kepada burung-burung emprit di atas kepalanya. “Kalau air masih keruh seperti ini, percuma saja aku memasang pancing.”
           Lalu dengan jarinya yang Nampak kering lelaki itu tampak mengatur cincin serulingnya. Dengan menekan cincin yang terbuat dari serpih bambu itu lebih dalam, dia ingin membuat suara serulingnya selirih mungkin. Dia memang selalu ingin meniup seruling hanya untuk didengar sendiri. Dia tidak bermaksud mengalunkannya untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri pun tak perlu mendengar karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.
           Ketika ujung-ujung ranting yang menggantung itu mulai bergoyang oleh sentuhan angin, ketika burung-burung kecil itu mulai mencicit-cicit di seputar sarang mereka, dari bawah kerindangan pohon mbulu itu samar-samar mulai terdengar alunan seruling. Demikian samar sehingga ketika angin bertiup kencang, suara itu luluh oleh desah angin yang menerobos dedaunan.
           Pemancing tua itu dengan serulingnya sedang asyik berdendang sendiri. Alunan itu membawanya mengembara ke ruang jiwa dengan rasa yang amat mendalam. Dia merasa melayang, bersentuhan dengan puncak kesadaran, dan dari sana dia merasakan hadirnya kearifan alam semesta. Kearifan itu, yang dia sendiri sulit menjelaskannya, sering terasa hadir dan membuatnya begitu tanang, genap, mapan. Ayem. Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak. Atau ayemnya anak bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan. Ya, orang yang sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah berhasil mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.
           Dengan duduk bersandar pada batu besar, dengan mata setengah tertutup pemancing tua itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan menyapa puncak-puncak rasa. Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan batin yang sangat mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya beberapa langkah di sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di pinggangnya, tidak segera menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam getar irama seruling yang ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir jatuh oleh embusan angin sehingga dia harus membuat gerakan nyata, pemancing itu takkan melihatnya. Dan suara seruling pun mendadak berhenti. Sejenak lengang.

Kutipan “Orang-Orang Proyek” di atas menunjukkan bahwa Ahmad Thohari memberikan informasi kepada pembaca. Kita diperkenalkan dengan latar dan peristiwa yang mengawali cerita dari novel ini. Yakni sebuah banjir yang terjadi di kali Cibawor. Kemudian kita diperkenalkan dengan seorang tokoh, yaitu seorang lelaki tua. Kita pun diberi tahu bahwa lelaki tua itu hendak memancing tetapi karena bekas banjir belum sepenuhnya hilang, sehingga air masih keruh, lantas lelaki tua itu tidak segera mengeluarkan peralatan pancingnya. Kita juga di beri tahu bahwa lelaki tua itu meniup seruling dengan lirih se-lirih mungkin.
Akan tetapi, disini Ahmad Thohari tidak secara langsung memperkenalkan siapa nama lelaki tua itu. Kita juga tidak diberi tahu posisinya disana sebagai tokoh utama atau bukan. Sehingga pembaca diberi kesempatan untuk menerka siapa sebenarnya yang diceritakan dalam bagian awal novel ini.  Pada bagian awal itu pula kita tidak di beri penjelasan kenapa penulis memilih kali Cibawor sebagai tempat banjir tersebut. Apa kaitan ceritanya dengan kali Cibawor.
Kutipan bagian awal “Orang-Orang Proyek” di atas juga menunjukkan adanya elemen instabilitas. Ahmad Thohari berhasil meyakinkan bahwa tokoh disana adalah seorang lelaki tua, membawa seperangkat alat memancing. Juga kita diyakinkan tokoh itu memainkan seruling sebagai wakil dari perasaannya. Namun, pada bagian awal itu juga menunjukkan adanya ketidak-stabilan, yang memiliki potensi “terbuka”, yakni yang menunjuk pada ketidak-stabilan tokoh dan juga latar pada cerita bagian awal novel itu. Dimana kita tidak diperkenalkan secara langsung siapa tokoh yang dijelaskan pada awal cerita itu. Lalu hubungan latar yang menggunakan kali Cibawor dan kaitannya peristiwa banjir dengan pokok ceritanya serta tokoh utama.
Namun pada bagian selanjutnya dari awal cerita itu, kita kemudian mengetahui bahwa kausalitas dengan cerita selanjutnya sangat terlihat jelas. Seperti pada kutipan berikut.
“Eh, cerita yang lain, Mas. Saya tergoda untuk bertanya, mengapa pagi ini Anda berada di sisni? Bukankah tempat ini hanya pantas didatangi tukang mancing seperti saya?”
“Begini, Pak. Tadi saya sedang melihat-lihat lokasi pembangunan jembatan. Tahu kan, banjir kemarin dulu telah merusak persiapan pembuatan tiang jembatan? Saya menyusuri tepian sungai kea rah hulu tanpa tujuan tertentu sampai saya mendegar sayup-sayup serulingmu.”
“Lupakan spal seruling. Saya lebih tertarik bicara tentang banjir kemarin dulu itu. Mas, saya tahu, wong saya malah ikut nonton. Dahsyat ya, Mas? Saya melihatnya sejak bah datang. Ketika ada pohon mahoni besar hanyut dan tersangkut di tiang pancang yang baru ditanam, semua orang jadi tegang. Semula tiang itu tetap tegak. Namun ketika datang lagi pohon-pohon yang hanyut dan ikut menekan, tiang pancang itu perlahan-lahan miring.”
“itulah yang membuat saya tertekan, pusing. Karena beton pancang sudah miring, pekerjaan harus diulang dari awal lagi. Nah, bila kau merasa pusing, Pak Tarya, kau bisa menghibur diri dengan main seruling. Tapi saya?”
“O, begitu? Rupanya sampean pusing karena banjir telah merusak pekerjaan sampean?”
Ahmad Thohari, Orang-Orang Proyek hlm.10-11
Pada kutipan di atas kita dapat dengan samar-samar melihat siapa tokoh yang diceritkan di awal. Kita mulai mengenal  siapa tokoh Kabul dan Pak Tarya. Kemudian kita menjadi gamblang bagaimana hubungan banjir dengan latar yang dipilih. Kita juga melihat bahwasanya Kabul adalah pimpinan proyek pembangunan jembatan di desa itu. Kabul gelisah karena banjir yang datang itu membuat fondasi pembangunan jembatan miring, sehingga harus dimulai dari awal lagi. Kemudian kita mengenal kedua tokoh tersebut melalui dialog dari keduanya.
Dari sini kita dapat mengetahui adanya banjir yang diceritakan pada awal cerita itu merupakan mata rantai pertama bagi peristiwa-peristiwa yang berkausalitas dan juga temporal. Peristiwa pertama yang diceritkan pada bagian awal novel itu merupakan konflik yang akan berbuntut pada peristiwa berikutnya. Pada bagian awal tersebut juga Ahmad Thohari begitu detail menginformasikan tempat dan waktunya.  
Setelah kita melihat dan membaca keseluruhan dari novel “Orang-Orang Proyek” kita dapat mengetahui bahwa Ahmad Thohari menulis novel ini dengan menggunakan alur maju atau alur progresif.  Penulisan cerita ini juga menggunakan alur yang longgar. dimana dalam cerita ini pada bagian kedua tiba-tiba saja pembangunan jembatan sudah berlangsung tiga bulan.

Demikian Analisis novel "Orang-orang Proyek" karya Ahmad Thohari yang dapat kubagikan ke teman-teman. Semoga bermanfaa!!